© 2020 Yayasan Urantia
196:0.1 YESUS menikmati iman kepada Tuhan yang mendalam dan sepenuh hati. Dia mengalami masa-masa pasang surut kehidupan manusia fana yang biasa, tetapi dia tidak pernah secara imani meragukan kepastian pemeliharaan dan pimpinan Tuhan. Imannya adalah hasil pertumbuhan dari wawasan mendalam yang dilahirkan dari kegiatan kehadiran ilahi, Sang Pelaras yang mendiaminya. Imannya tidak bersifat tradisi atau semata-mata intelektual; imannya itu sepenuhnya pribadi dan murni rohani atau spiritual.
196:0.2 Manusia Yesus melihat Tuhan sebagai yang suci, adil, dan besar, demikian pula sebagai yang benar, indah, dan baik. Semua sifat keilahian ini ia pusatkan dalam batinnya sebagai “kehendak Bapa di surga[1].” Tuhannya Yesus adalah pada waktu yang satu dan sama “Yang Kudus dari Israel” dan “Bapa yang hidup dan pengasih di surga[2].” Konsep tentang Tuhan sebagai Bapa itu bukan berasal asli dari Yesus, tetapi dia meninggikan dan mengangkat gagasan itu menjadi suatu pengalaman yang luhur dengan mencapai suatu pewahyuan baru tentang Tuhan dan dengan memproklamirkan bahwa setiap manusia fana itu adalah anak dari Bapa yang pengasih ini, seorang anak Tuhan[3][4].
196:0.3 Yesus tidak berpegang pada iman kepada Tuhan seperti jiwa yang sedang berjuang dalam peperangan melawan alam semesta dan bertarung mati-matian melawan dunia yang bermusuhan dan penuh dosa; dia tidak mempergunakan iman hanya sebagai penghiburan di tengah kesulitan atau sebagai suatu penghiburan dalam ancaman putus asa; iman itu bukan hanya suatu penggantian yang maya terhadap kenyataan-kenyataan tidak menyenangkan dan duka cita menjalani hidup. Menghadapi semua kesulitan alami dan pertentangan sementara dalam keberadaan manusia itu, dia mengalami ketenteraman rasa percaya yang tertinggi dan pasti dalam Tuhan, dan merasakan getaran hebat menjalani hidup, oleh iman, dalam hadirat-Nya Bapa surgawi itu pula. Dan iman yang berkemenangan ini adalah suatu pengalaman yang hidup dari pencapaian roh yang nyata. Sumbangan besarnya Yesus kepada nilai-nilai pengalaman manusia adalah bukan karena dia mewahyukan begitu banyak gagasan baru mengenai Bapa di surga, melainkan karena dia dengan demikian agung dan manusiawi memperagakan suatu jenis iman yang hidup kepada Tuhan, jenis iman yang baru dan lebih tinggi. Tidak pernah di seluruh dunia-dunia alam semesta ini, dalam kehidupan seorang manusia fana, Tuhan pernah menjadi suatu kenyataan yang hidup seperti dalam pengalaman manusiawi Yesus dari Nazaret itu.
196:0.4 Dalam kehidupan Guru di Urantia, dunia ini dan semua dunia yang lain dari ciptaan lokal menemukan suatu jenis agama yang baru dan lebih tinggi, agama yang didasarkan pada hubungan rohani pribadi dengan Bapa Semesta dan sepenuhnya disahkan oleh wewenang tertinggi dari pengalaman pribadi yang asli. Iman yang hidup dari Yesus ini lebih daripada suatu perenungan intelektual, dan iman ini bukan suatu meditasi mistis.
196:0.5 Teologi bisa menetapkan, merumuskan, mendefinisikan, dan mendogmatisir iman, tetapi dalam kehidupan manusiawi Yesus iman itu bersifat pribadi, hidup, asli, spontan, dan murni rohani. Iman ini bukanlah pemujaan terhadap tradisi ataupun semata-mata suatu kepercayaan intelektual yang dia pegang sebagai suatu pernyataan kepercayaan yang disucikan, namun lebih merupakan suatu pengalaman luhur dan suatu keyakinan mendalam yang dengan aman memegangnya. Imannya begitu nyata dan meliputi semuanya sehingga iman itu secara mutlak menyapu semua keraguan rohani dan secara efektif menghancurkan setiap hasrat yang bertentangan. Tidak ada yang dapat merenggut dia dari jangkar rohani dari iman yang sungguh-sungguh, mendalam, dan tak kenal takut ini. Bahkan dalam menghadapi yang kelihatannya kekalahan atau dalam sengatan kekecewaan dan ancaman keputus-asaan, dia dengan tenang berdiri dalam hadirat ilahi bebas dari rasa takut dan sepenuhnya sadar akan rohani yang tak terkalahkan. Yesus menikmati kepastian yang menguatkan karena memiliki iman yang teguh, dan dalam setiap situasi kehidupan yang sulit dia selalu menunjukkan kesetiaan yang pasti pada kehendak Bapa. Dan iman yang hebat ini tetap tak gentar bahkan menghadapi ancaman yang kejam dan meremukkan dari kematian yang hina.
196:0.6 Dalam seorang jenius agama, iman rohani yang kuat begitu banyak kali membawa langsung ke fanatisme yang berbahaya, ke pelebih-lebihan ego rohani, namun tidak demikian dengan Yesus. Dia tidak terpengaruh secara buruk dalam kehidupan sehari-harinya oleh iman yang luar biasa dan pencapaian rohnya itu, karena peninggian rohani ini adalah suatu ekspresi jiwa yang sepenuhnya tak disadari dan spontan dari pengalaman pribadinya dengan Tuhan.
196:0.7 Iman rohani Yesus yang meliputi segalanya dan tidak terkalahkan itu tidak pernah menjadi fanatik, karena iman itu tidak pernah mencoba lari menjauh dari penilaian intelektualnya yang berimbang mengenai nilai-nilai proporsional dari situasi-situasi kehidupan sosial, ekonomi, dan moral yang praktis dan biasa sehari-hari. Anak Manusia adalah sosok kepribadian manusia yang dipersatukan dengan indah; dia adalah sosok ilahi yang dianugerahi kemampuan sempurna; dia juga diserasikan dengan bagus sekali sebagai sosok gabungan manusiawi dan ilahi yang berfungsi di bumi sebagai satu kepribadian tunggal. Selalu Guru menyelaraskan iman dari jiwa dengan penilaian-hikmat dari kematangan pengalaman. Iman pribadi, pengharapan rohani, dan pengabdian moral itu selalu dikaitkan dalam suatu kesatuan keagamaan yang tanpa tanding, kesatuan hubungan yang harmonis dengan kesadaran tajam mengenai kenyataan dan kesucian semua kesetiaan manusiawi—kehormatan pribadi, cinta keluarga, kewajiban agama, tugas sosial, dan kebutuhan ekonomi.
196:0.8 Iman Yesus menggambarkan bahwa semua nilai-nilai roh itu ditemukan dalam kerajaan Tuhan; sebab itu dia berkata, “Carilah dahulu kerajaan surga[5].” Yesus melihat dalam persekutuan yang maju dan ideal dari kerajaan itu adanya pencapaian dan penggenapan “kehendak Tuhan[6].” Inti doa yang dia ajarkan kepada murid-muridnya adalah, “Kerajaan-Mu datanglah, kehendak-Mu jadilah[7].” Setelah menganggap kerajaan itu sebagai merupakan kehendak Tuhan, dia mengabdikan dirinya untuk tujuan realisasinya dengan pelupaan diri yang menakjubkan dan antusiasme yang tak terhingga. Tetapi dalam semua misinya yang intens ini dan dalam seluruh kehidupannya yang luar biasa itu tidak pernah muncul amuk murka dari orang yang fanatik ataupun perkataan bualan semu dari orang yang mementingkan ego keagamaannya.
196:0.9 Seluruh kehidupan Guru secara konsisten dipengaruhi oleh iman yang hidup ini, pengalaman beragama yang mendalam ini. Sikap rohani ini sepenuhnya menguasai pemikiran dan perasaannya, percaya dan doanya, pengajaran dan pemberitaannya. Iman pribadi dari seorang anak akan kepastian dan keamanan dari bimbingan dan perlindungan Bapa surgawi ini memberikan pada hidupnya yang unik suatu kemampuan mendalam untuk kenyataan rohani. Walaupun demikian, meskipun memiliki kesadaran hubungan dekat yang sangat mendalam dengan keilahian ini, orang Galilea ini, orang Galileanya Tuhan ini, ketika disebut sebagai Guru yang Baik, langsung menjawab, “Mengapa kamu menyebut aku baik?” Kalau kita diperhadapkan dengan pelupaan (pengabaian) diri yang demikian hebat tersebut, kita mulai mengerti bagaimana Bapa Semesta menjadi mungkin sepenuhnya untuk memanifestasikan diri-Nya kepadanya dan mewahyukan diri-Nya melalui dia kepada manusia di alam-alam dunia[8].
196:0.10 Sebagai manusia dari alam, Yesus membawa kepada Tuhan persembahan yang terbesar dari semua persembahan, yaitu konsekrasi dan dedikasi dari kehendaknya sendiri untuk pelayanan agung melakukan kehendak ilahi. Yesus selalu dan secara konsisten menafsirkan agama sepenuhnya dalam ukuran-ukuran kehendak Bapa[9]. Jika kamu mempelajari perjalanan hidup Guru, sehubungan dengan doa atau suatu aspek kehidupan beragama yang lain, janganlah terlalu melihat apa yang dia ajarkan dibandingkan apa yang dia lakukan. Yesus tidak pernah berdoa sebagai suatu tugas keagamaan. Bagi dia, doa adalah suatu ekspresi tulus dari sikap rohani, suatu deklarasi dari kesetiaan jiwa, suatu pengucapan bakti pribadi, suatu ekspresi ucapan syukur, suatu penghindaran dari tekanan emosi, suatu pencegahan konflik, suatu peninggian kecerdasan, suatu pemuliaan keinginan, suatu pembenaran keputusan moral, suatu pengayaan pemikiran, suatu penyegaran kecenderungan yang lebih tinggi, suatu pengabdian hasrat, suatu penjelasan sudut pandang, suatu pernyataan iman, suatu penyerahan kehendak melampaui yang biasa, suatu penegasan percaya diri yang mendalam, suatu pengungkapan keberanian, suatu proklamasi penemuan, suatu pengakuan akan bakti tertinggi, pengesahan terhadap pengabdian hidup, suatu teknik penyelesaian kesulitan, dan pengerahan hebat kekuatan-kekuatan jiwa gabungan untuk melawan semua kecenderungan manusiawi ke arah kepentingan diri sendiri, kejahatan, dan dosa. Dia hanya menghidupi suatu kehidupan pengabdian hidup penuh doa seperti itu untuk melakukan kehendak Bapanya, dan mengakhiri hidupnya dengan berkemenangan hanya dengan doa yang seperti itu pula. Rahasia dari kehidupan beragamanya yang tiada tara ini adalah kesadaran tentang kehadiran Tuhan ini; dan dia mencapainya melalui doa yang cerdas dan penyembahan yang tulus—persekutuan tanpa putus dengan Tuhan—dan bukan oleh pertanda, bisikan, penglihatan, atau praktek-praktek keagamaan yang luar biasa.
196:0.11 Dalam hidup Yesus di bumi, agama adalah suatu pengalaman hidup, suatu pergerakan yang langsung dan pribadi dari rasa hormat rohani ke perbuatan benar yang praktis. Iman Yesus membuahkan hasil-hasil transenden dari roh ilahi. Imannya tidaklah kekanak-kanakan dan hafalan seperti seorang anak kecil, namun dalam banyak hal iman itu mirip rasa percaya yang tanpa curiga dari batin anak kecil[10]. Yesus mempercayai Tuhan mirip seperti anak mempercayai orang tua. Dia memiliki rasa percaya mendalam kepada alam semesta—sama seperti rasa percaya yang dimiliki anak dalam lingkungan orang tuanya. Iman sepenuh hati Yesus terhadap kebaikan mendasar alam semesta itu sangat menyerupai rasa percaya anak pada keamanan lingkungan dunia sekelilingnya. Dia bergantung kepada Bapa surgawi seperti seorang anak kecil bersandar kepada orang tua duniawinya, dan imannya yang sungguh-sungguh itu tidak pernah sesaatpun meragukan kepastian pemeliharaan Bapa surgawi. Dia tidak terganggu secara serius oleh rasa takut, keraguan, dan kesangsian. Ketidak-percayaan tidak merintangi ekspresi bebas dan asli dari kehidupannya. Dia menggabungkan keberanian yang mantap dan cerdas dari seorang lelaki dewasa dengan optimisme tulus dan memercayai dari seorang anak kecil yang percaya. Imannya bertumbuh hingga puncak-puncak rasa percaya sedemikian itu sehingga imannya itu tanpa rasa takut.
196:0.12 Imannya Yesus mencapai kemurnian rasa percayanya seorang anak[11]. Imannya demikian mutlak dan tidak ragu sehingga iman itu menanggapi pesona dari kontak sesama rekan-rekannya dan keajaiban-keajaiban alam semesta. Perasaan ketergantungannya pada yang ilahi itu demikian sempurna dan demikian yakin sehingga hal itu menghasilkan sukacita dan kepastian keamanan pribadi yang mutlak. Tidak ada kepura-puraan yang meragukan dalam pengalaman keagamaannya. Dalam intelek raksasa dari lelaki yang dewasa penuh ini, iman anak kecil menempati kedudukan tertinggi dalam semua hal yang berhubungan dengan kesadaran beragama. Tidak heran bahwa suatu kali ia pernah berkata, “Jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.” Meskipun imannya Yesus itu seperti anak-anak, namun tidak dalam pengertian kekanak-kanakan.
196:0.13 Yesus tidak mengharuskan murid-muridnya untuk percaya akan dia, melainkan lebih untuk percaya bersama dengan dia, percaya akan kenyataan kasih Tuhan dan dalam keyakinan penuh menerima jaminan kepastian sebagai anak Bapa surgawi. Guru menginginkan agar semua pengikutnya seharusnya berbagi penuh imannya yang transenden (melampaui yang biasa itu). Yesus paling secara berkesan menantang pengikut-pengikutnya, supaya tidak hanya percaya apa yang dia percayai, tetapi juga untuk percaya sepertidia percaya. Ini adalah makna penuh dari salah satu tuntutan tertingginya, “Ikutlah aku[12].”
196:0.14 Kehidupan bumi Yesus dikhususkan untuk satu maksud besar—melakukan kehendak Bapa, menghidupi kehidupan manusia secara beragama dan oleh iman[13]. Iman Yesus itu mempercayai, seperti iman seorang anak, tetapi iman itu sepenuhnya bebas dari prasangka. Dia membuat keputusan-keputusan yang kuat dan berani, dengan berani menghadapi banyak kekecewaan, dengan tabah mengatasi kesulitan-kesulitan yang luar biasa, dan dengan gigih menghadapi tuntutan keras dari tugas. Diperlukan suatu kehendak yang kuat dan kepercayaan diri yang teguh untuk mempercayai apa yang Yesus percaya dan seperti dia percaya.
196:1.1 Kesetiaan Yesus pada kehendak Bapa dan pelayanan manusia itu bahkan lebih dari keputusan fana dan tekad manusiawi; kesetiaan itu adalah suatu pengabdian sepenuh hati dirinya untuk penganugerahan kasih yang demikian tanpa syarat. Tidak peduli bagaimanapun besarnya fakta tentang kedaulatan kuasa Mikhael, kamu tidak boleh memisahkan Yesus manusia itu dari umat manusia. Guru telah naik ke tempat tinggi sebagai seorang manusia, demikian pula sebagai Tuhan; dia termasuk manusia; manusia termasuk kepadanya. Betapa sayangnya bahwa agama itu sendiri bisa menjadi begitu disalah-tafsirkan sehingga mengambil Yesus yang manusia itu dari perjuangan manusia! Jangan biarkan pembahasan-pembahasan tentang kemanusiaan atau keilahian Kristus menutupi kebenaran yang menyelamatkan bahwa Yesus dari Nazaret itu adalah seorang manusia beragama yang, oleh iman, mencapai hal mengetahui dan melakukan kehendak Tuhan; dia adalah manusia yang paling benar-benar beragama yang pernah hidup di Urantia.
196:1.2 Waktunya telah matang untuk menyaksikan kebangkitan kiasannya Yesus manusia itu dari kuburnya di tengah-tengah tradisi-tradisi teologis dan dogma-dogma keagamaan sembilan belas abad. Yesus dari Nazaret tidak boleh lebih lama lagi dikorbankan sekalipun hanya demi konsep indah tentang Kristus yang dimuliakan. Alangkah transendennya pelayanan jika, melalui pewahyuan ini, Anak Manusia akan digali lagi dari kuburan teologi tradisional dan dihadirkan sebagai Yesus yang hidup kepada gereja yang membawa namanya, dan kepada semua agama yang lain! Pastilah persekutuan orang percaya Kristen tidak akan ragu-ragu untuk membuat penyesuaian-penyesuaian kepercayaan dan praktek-praktek hidup sehingga akan memampukannya untuk “mengikuti jejak” Guru dalam peragaan kehidupan pengabdian beragama yang nyata untuk melakukan kehendak Bapanya dan pengabdian untuk pelayanan yang tidak mementingkan diri bagi umat manusia[14]. Apakah pengikut-pengikut Kristen takut akan tersingkapnya suatu persekutuan yang berdikari dan tidak kudus itu, persekutuan dengan kehormatan sosial dan kesalahan penyesuaian ekonomi yang mementingkan diri sendiri? Apakah lembaga Kekristenan takut terhadap kemungkinan bahaya, atau bahkan tergulingnya kekuasaan gereja tradisional jika Yesus dari Galilea itu ditempatkan kembali dalam batin dan jiwa manusia sebagai ideal untuk kehidupan beragama pribadi? Memang, penataan ulang sosial, transformasi ekonomi, peremajaan moral, dan revisi keagamaan terhadap peradaban Kristen akan drastis dan revolusioner jika agama hidup Yesus itu tiba-tiba akan menggantikan agama teologis tentang Yesus.
196:1.3 “Mengikut Yesus” berarti secara pribadi berbagi iman keagamaannya dan untuk memasuki roh dari kehidupannya Guru untuk pelayanan tanpa pamrih bagi umat manusia. Salah satu hal yang paling penting dalam hidup manusia adalah untuk menemukan apa yang Yesus percayai, untuk menemukan ideal-idealnya, dan untuk berjuang untuk pencapaian tujuan hidupnya yang mulia. Dari semua pengetahuan manusia, yang bernilai terbesar adalah untuk mengetahui kehidupan beragamanya Yesus dan bagaimana dia menghidupinya.
196:1.4 Rakyat biasa mendengar Yesus dengan senang, dan mereka akan menanggapi lagi terhadap presentasi tentang kehidupan manusiawinya yang tulus, kehidupan motivasi beragama yang diabdikan (dikonsekrasikan) itu, jika kebenaran-kebenaran tersebut akan dikabarkan lagi kepada dunia[15]. Orang-orang mendengar dia dengan senang karena dia adalah satu dari mereka, seorang awam yang tidak berlagak hebat; guru agama yang terbesar di dunia itu adalah sungguh seorang awam.
196:1.5 Bukanlah menjadi sasaran pengikut kerajaan agar secara harfiah meniru tampilan luar kehidupan Yesus dalam daging, melainkan berbagi imannya; untuk percaya Tuhan seperti dia percaya Tuhan, dan untuk mempercayai manusia seperti Yesus mempercayai manusia. Yesus tidak pernah berbantah-bantah mengenai kebapaan Tuhan ataupun mengenai persaudaraan umat manusia; dia adalah suatu contoh hidup tentang yang pertama dan suatu demonstrasi yang meyakinkan tentang yang satunya lagi.
196:1.6 Sama seperti manusia harus maju dari kesadaran manusiawi menuju kesadaran ilahi, begitu pula Yesus naik dari kodrat manusiawi menuju kesadaran kodrat-Nya Tuhan. Dan Guru membuat kenaikan besar ini, dari yang manusiawi menuju yang ilahi, oleh pencapaian gabungan bersama dari iman kecerdasan manusianya dan perbuatan-perbuatan Pelaras yang mendiaminya. Kesadaran-fakta tentang pencapaian totalitas keilahian itu (sementara sepenuhnya sadar tentang realitas kemanusiaannya) disertai oleh tujuh tahap kesadaran iman dari pengilahian progresif. Tahap-tahap kesadaran diri progresif ini ditandai oleh peristiwa-peristiwa luar biasa berikut dalam pengalaman penganugerahan diri Guru:
196:1.7 1. Kedatangan Pelaras Pikiran.
196:1.8 2. Utusan dari Immanuel yang menampakkan diri kepadanya di Yerusalem ketika dia berumur sekitar dua belas tahun.
196:1.9 3. Manifestasi-manifestasi yang mengiringi baptisannya.
196:1.10 4. Pengalaman-pengalaman di Gunung Transfigurasi.
196:1.11 5. Kebangkitan morontia.
196:1.12 6. Kenaikan roh.
196:1.13 7. Penerimaan akhir Bapa Surgawi, menganugerahkan kedaulatan tak terbatas terhadap alam semestanya.
196:2.1 Suatu hari suatu reformasi dalam gereja Kristen mungkin mencapai cukup dalam sehingga kembali ke ajaran-ajaran keagamaan Yesus yang tidak tercemar, Yesus, penggubah dan penyempurna iman kita[16]. Kamu bisa memberitakan suatu agama tentangYesus, namun, terpaksa, kamu harus menghidupi agamanya Yesus. Dalam antusiasme Pentakosta, Petrus tanpa sengaja meresmikan sebuah agama yang baru, agama tentang Kristus yang bangkit dan dimuliakan itu. Rasul Paulus belakangan mengubah injil baru ini menjadi Kekristenan, suatu agama yang mewadahi pandangan teologisnya sendiri dan menggambarkan pengalaman pribadinya sendiri dengan Yesus di jalan Damaskus[17]. Injil kerajaan itu didasarkan pada pengalaman keagamaan pribadi Yesus dari Galilea; Kekristenan itu didasarkan hampir secara eksklusif pada pengalaman keagamaan pribadinya Rasul Paulus. Hampir seluruh Perjanjian Baru digunakan, bukan untuk penggambaran kehidupan beragama Yesus yang penting dan mengilhami itu, tetapi pada suatu diskusi tentang pengalaman keagamaannya Paulus dan tentang suatu penggambaran tentang keyakinan-keyakinan keagamaan pribadinya. Perkecualian penting satu-satunya terhadap pernyataan ini, selain bagian-bagian tertentu kitab Matius, Markus, dan Lukas, adalah kitab Ibrani dan Surat Kiriman Yakobus. Bahkan Petrus, dalam tulisannya, hanya satu kali kembali membicarakan kehidupan keagamaan pribadi Gurunya[18]. Perjanjian Baru adalah suatu dokumen Kristen yang unggul, tetapi itu kurang memadai untuk pengikut Yesus.
196:2.2 Kehidupan Yesus dalam daging menggambarkan suatu pertumbuhan keagamaan yang transenden dari gagasan awal rasa takjub primitif dan hormat manusiawi, naik melalui tahun-tahun persekutuan rohani pribadi, sampai akhirnya dia sampai pada status maju dan mulia dari kesadaran akan kesatuannya dengan Bapa. Dan dengan demikian, dalam satu kehidupan pendek, Yesus melintasi pengalaman kemajuan rohani keagamaan itu yang dimulai manusia di bumi dan biasanya dicapai hanya pada akhir perjalanan panjang manusia dalam sekolah-sekolah pelatihan roh dari tingkatan berturut-turut karier pra-Firdaus. Yesus maju dari suatu kesadaran yang murni manusiawi tentang kepastian-kepastian iman dari pengalaman keagamaan pribadi, menuju puncak-puncak rohani mulia dari kesadaran positif akan kodrat ilahinya, dan ke kesadaran akan hubungan dekatnya dengan Bapa Semesta dalam pengelolaan sebuah alam semesta[19]. Dia maju dari status rendah ketergantungan manusia fana yang membuat dia secara spontan berkata pada orang yang menyebut dia Guru yang Baik, “Mengapa kaukatakan Aku baik? Tak seorangpun yang baik selain dari pada Allah saja,” kepada kesadaran mulia tercapainya keilahian yang membawa dia berseru, “Siapakah di antaramu yang membuktikan bahwa Aku berbuat dosa?” Dan kenaikan maju dari yang manusiawi kepada yang ilahi ini adalah suatu pencapaian yang semata-mata manusia fana[20][21]. Dan setelah dia mencapai keilahian seperti itu, dia masih juga manusia Yesus yang sama, Anak Manusia demikian pula Anak Tuhan.
196:2.3 Markus, Matius, dan Lukas mempertahankan beberapa tentang gambaran Yesus manusia itu sewaktu dia terlibat dalam perjuangan hebat untuk mengetahui pasti kehendak ilahi dan untuk melakukan kehendak itu. Yohanes menampilkan suatu gambaran tentang Yesus yang berkemenangan sewaktu dia berjalan di atas bumi dalam kesadaran penuh akan keilahiannya. Kesalahan besar yang telah dibuat oleh mereka yang telah mempelajari kehidupan Guru adalah karena beberapa orang telah menganggap dia sebagai sepenuhnya manusia, sementara yang lain telah menganggap dia sebagai hanya ilahi saja. Dalam seluruh pengalamannya dia benar-benar adalah manusiawi dan juga ilahi, sampai kini pun dia masih demikian.
196:2.4 Tetapi kesalahan terbesar yang dibuat adalah bahwa, meskipun manusia Yesus diakui sebagai mempunyai suatu agama, tetapi Yesus yang ilahi (Kristus) itu hampir dalam sesaat saja telah menjadi suatu agama. Kekristenannya Paulus memastikan pemujaan terhadap Kristus yang ilahi, tetapi hampir sepenuhnya kehilangan pandangan tentang Yesus manusia dari Galilea itu yang berjuang dengan gagah berani, yang, melalui keberanian dari iman keagamaan pribadinya dan kepahlawanan dari Pelaras yang mendiaminya, naik dari tingkat-tingkat rendah kemanusiawian untuk menjadi satu dengan keilahian, dengan demikian menjadi jalan yang baru dan hidup melalui mana semua manusia bisa naik seperti itu dari kemanusiaan kepada keilahian[22]. Manusia-manusia fana dalam semua tahap kerohanian dan di semua dunia bisa menemukan dalam kehidupan pribadi Yesus apa yang akan meneguhkan dan mengilhami mereka selagi mereka maju dari tingkat-tingkat roh terendah naik ke nilai-nilai ilahi tertinggi, dari awal hingga akhir semua pengalaman keagamaan pribadi.
196:2.5 Pada waktu penulisan Perjanjian Baru, para penulisnya tidak hanya sangat percaya akan keilahian Kristus yang bangkit itu, tetapi mereka juga secara sungguh-sungguh dan tulus percaya akan segera kembalinya Yesus ke bumi untuk mewujudkan kerajaan surgawi itu. Kepercayaan kuat akan kedatangan segera Tuhan ini banyak berhubungan dengan kecenderungan untuk menghapus dari catatan referensi-referensi yang menggambarkan pengalaman-pengalaman dan sifat-sifat murni manusiawinya sang Guru[23]. Seluruh gerakan Kekristenan itu cenderung menjauh dari gambaran manusiawi Yesus Nazaret ke arah pengagungan Kristus yang dibangkitkan, Tuhan Yesus Kristus yang dimuliakan dan segera kembali itu[24].
196:2.6 Yesus mendirikan agama pengalaman pribadi dalam melakukan kehendak Tuhan dan melayani persaudaraan manusia; Paulus mendirikan sebuah agama yang di dalamnya Yesus yang dimuliakan itu menjadi objek penyembahan dan persaudaraan yang terdiri dari sesama orang percaya kepada Kristus yang ilahi. Dalam penganugerahan diri Yesus kedua konsep ini adalah potensial dalam kehidupan manusiawi-ilahinya, dan memang disayangkan bahwa para pengikutnya gagal menciptakan suatu agama bersatu yang bisa memberi pengakuan selayaknya kepada kodrat manusiawi maupun ilahi Guru, karena keduanya itu terikat tak terpisahkan dalam kehidupan buminya, dan yang dengan agungnya diketengahkan dalam injil yang asli tentang kerajaan[25].
196:2.7 Kamu tidak akan terkejut ataupun terganggu oleh beberapa pernyataan keras Yesus jika saja kamu ingat bahwa dia adalah agamawan yang paling sepenuh hati dan mengabdikan diri di dunia. Dia adalah seorang manusia fana yang sepenuhnya mengabdikan dirinya, tanpa syarat membaktikan diri untuk melakukan kehendak Bapanya. Banyak dari perkataannya yang tampaknya keras itu lebih merupakan suatu pengakuan iman pribadi dan suatu janji untuk setia ketimbang perintah-perintah kepada pengikut-pengikutnya. Dan ketunggalan maksud dan pengabdian yang tidak mementingkan diri inilah yang memampukan dia untuk menghasilkan kemajuan yang demikian luar biasa dalam penguasaan batin manusia dalam satu kehidupan yang singkat. Banyak dari pernyataan-pernyataannya seharusnya dianggap sebagai suatu pengakuan dari apa yang dia tuntut dari dirinya sendiri ketimbang apa yang dia wajibkan dari semua pengikutnya. Dalam pengabdiannya untuk tujuan kerajaan, Yesus membakar semua jembatan balik di belakangnya; dia mengorbankan semua rintangan demi untuk melakukan kehendak Bapanya.
196:2.8 Yesus memberkati orang miskin karena mereka biasanya tulus dan saleh; dia mengutuk orang kaya karena mereka biasanya main-main dan tidak beriman[26][27]. Dia akan sama-sama menyalahkan orang miskin yang tidak beriman dan memuji orang kaya yang mengabdikan diri dan beribadah.
196:2.9 Yesus membawa manusia untuk merasa berada di rumah sendiri di dunia; dia melepaskan mereka dari perbudakan tabu (pantangan) dan mengajar mereka bahwa dunia itu secara mendasar tidak jahat. Dia tidak merindukan untuk lepas dari kehidupan buminya; dia menguasai teknik untuk secara memuaskan melakukan kehendak Bapa sementara masih dalam daging. Dia mencapai suatu kehidupan beragama yang idealistis di tengah-tengah dunia yang realistis. Yesus tidak menganut pandangan pesimistis Paulus tentang umat manusia. Guru memandang kepada manusia sebagai anak-anak Tuhan dan meramalkan suatu masa depan yang sangat bagus dan kekal bagi mereka yang memilih keselamatan. Dia bukan seorang skeptis moral; dia memandang manusia secara positif, bukan secara negatif. Dia melihat kebanyakan orang sebagai orang yang lemah bukannya sebagai orang yang jahat, lebih sebagai orang bingung dari pada orang bejat. Namun tidak peduli apapun status mereka, mereka semua adalah anak-anak Tuhan dan saudara-saudaranya.
196:2.10 Dia mengajar manusia untuk menempatkan nilai yang tinggi terhadap diri mereka sendiri dalam waktu dan dalam kekekalan. Karena taksiran (penilaian) tinggi yang Yesus tempatkan atas manusia ini, dia bersedia memberikan dirinya untuk pelayanan tanpa henti kepada umat manusia. Nilai yang tak terbatas dari yang terbatas inilah yang membuat kaidah emas (golden rule) menjadi sebuah faktor pokok dalam agamanya. Manusia mana yang dapat gagal diangkat oleh kepercayaan luar biasa yang Yesus miliki terhadapnya?
196:2.11 Yesus tidak menawarkan kaidah untuk pemajuan sosial; misinya adalah suatu misi keagamaan, dan agama itu secara eksklusif adalah suatu pengalaman perorangan. Sasaran terakhir dari prestasi masyarakat yang paling maju itu tidak akan pernah dapat melampaui persaudaraan manusianya Yesus yang didasarkan pada pengakuan tentang kebapaan Tuhan. Ideal semua pencapaian sosial dapat diwujudkan hanya dalam kedatangan kerajaan ilahi ini.
196:3.1 Pengalaman keagamaan rohani yang pribadi itu adalah suatu pemecahan efisien untuk sebagian besar kesulitan-kesulitan manusia; hal itu adalah suatu pemilah, pengevaluasi, dan penyesuai efektif terhadap semua masalah manusia. Agama tidak menyingkirkan atau menghilangkan persoalan-persoalan manusia, tetapi agama itu memang meluluhkan, menyerap, menerangi, dan melampauinya. Agama yang benar mempersatukan kepribadian untuk penyesuaian efektif terhadap semua kebutuhan manusia fana. Iman keagamaan—pimpinan positif dari kehadiran ilahi yang berdiam di dalam itu—tidak akan gagal memampukan manusia yang mengenal Tuhan itu untuk menjembatani celah yang ada antara logika intelektual yang mengakui Sebab Pertama Semesta sebagai Itu, dan penegasan-penegasan positif dari jiwa yang menyatakan bahwa Sebab Pertama ini adalah Dia, Bapa surgawi dari kabar baiknya Yesus, Tuhan pribadinya keselamatan manusia.
196:3.2 Hanya ada tiga unsur dalam realitas semesta: fakta, gagasan, dan relasi. Kesadaran keagamaan mengenali realitas-realitas ini sebagai ilmu pengetahuan, filsafat, dan kebenaran. Filsafat akan cenderung untuk melihat aktivitas-aktivitas ini sebagai nalar, kebijaksanaan, dan iman—realitas fisik, realitas intelektual, dan realitas spiritual. Kami terbiasa menyebut realitas-realitas ini sebagai benda, makna, dan nilai.
196:3.3 Pemahaman progresif tentang realitas itu adalah setara dengan mendekati Tuhan. Hal menemukan Tuhan, kesadaran penyamaan dengan realitas, adalah setara dengan mengalami penyelesaian diri—keseluruhan diri, totalitas diri. Mengalami realitas total itu adalah kesadaran penuh akan Tuhan, finalitas pengalaman mengenal Tuhan.
196:3.4 Penjumlahan penuh kehidupan manusia adalah pengetahuan bahwa manusia itu dididik oleh fakta, dipermuliakan oleh hikmat, dan diselamatkan—dibenarkan—oleh iman keagamaan[28].
196:3.5 Kepastian fisik terdiri dalam logika ilmu pengetahuan; kepastian moral, dalam kebijaksanaan filsafat; kepastian rohani, dalam kebenaran dari pengalaman keagamaan yang asli.
196:3.6 Batin manusia dapat mencapai tingkatan tinggi wawasan rohani dan tataran keilahian nilai-nilai yang berkaitan karena batin itu tidak sepenuhnya bersifat materi. Ada sebuah inti roh dalam batin manusia—Pelaras dari hadirat ilahi. Ada tiga bukti terpisah tentang berdiamnya roh ini dalam batin manusia:
196:3.7 1. Persekutuan humanitarian (kemanusiaan)—kasih. Batin yang murni hewani mungkin suka berkelompok untuk perlindungan diri, tetapi hanya kecerdasan yang didiami roh yang bisa bersifat altruistik tidak mementingkan diri dan mengasihi tanpa syarat.
196:3.8 2. Penafsiran tentang alam semesta—hikmat. Hanyalah batin yang didiami roh yang dapat memahami bahwa alam semesta itu ramah terhadap individu itu.
196:3.9 3. Evaluasi rohani kehidupan— penyembahan. Hanyalah manusia yang didiami roh yang dapat mengenali kehadiran ilahi dan berusaha mencapai suatu pengalaman yang lebih penuh dalam dan dengan (roh yang adalah) icip-icip di muka dari keilahian ini.
196:3.10 Batin manusia tidak menciptakan nilai-nilai yang sebenarnya; pengalaman manusia tidak menghasilkan wawasan mendalam akan alam semesta. Mengenai wawasan, pengenalan tentang nilai-nilai moral dan kearifan tentang makna-makna rohani, semua yang batin manusia dapat perbuat adalah hanya menemukan, mengenali, menafsirkan, dan memilih.
196:3.11 Nilai-nilai moral dari alam semesta menjadi milik-milik intelektual oleh pelaksanaan tiga penilaian dasar, atau pilihan, dari batin manusia:
196:3.12 1. Penilaian diri—pilihan moral.
196:3.13 2. Penilaian sosial—pilihan etis.
196:3.14 3. Penilaian Tuhan—pilihan keagamaan.
196:3.15 Dengan demikian kelihatan bahwa semua kemajuan manusia itu dihasilkan oleh suatu teknik evolusi pewahyuan gabungan bersama.
196:3.16 Kalau tidak ada sang kekasih ilahi yang tinggal di dalam manusia, dia tidak dapat mengasihi secara tidak mementingkan diri dan secara rohani. Kalau tidak ada sang penafsir yang hidup di dalam batin, manusia tidak dapat benar-benar mengenali kesatuan alam semesta. Kecuali ada evaluator yang berdiam dengan manusia, dia tidak akan mungkin menilai nilai-nilai moral dan mengenali makna-makna rohani. Dan sang kekasih ini bertolak dari sumber kasih tanpa batas itu sendiri; penafsir ini adalah bagian dari Kesatuan Semesta; evaluator ini adalah anak dari Pusat dan Sumber semua nilai-nilai mutlak dari realitas yang ilahi dan kekal.
196:3.17 Evaluasi moral dengan suatu makna keagamaan—wawasan rohani—mengandung arti pilihan individu itu antara baik dan jahat, benar dan salah, jasmani dan rohani, manusiawi dan ilahi, waktu dan kekekalan. Keselamatan manusia itu amat tergantung pada pengabdian kehendak manusia untuk memilih nilai-nilai yang dipilih oleh penyortir nilai-roh ini—penafsir dan pemersatu yang tinggal di dalam. Pengalaman keagamaan pribadi itu terdiri dalam dua fase: penemuan dalam batin manusia dan pewahyuan oleh roh ilahi yang berdiam di dalam. Melalui keterlalu-canggihan atau karena akibat dari perilaku tidak beriman dari para pengikut agama, seseorang, atau bahkan satu generasi manusia, bisa memilih untuk menghentikan sementara usaha mereka menemukan Tuhan yang mendiami mereka; mereka bisa gagal untuk maju dalam dan mencapai pewahyuan ilahi. Tetapi sikap tidak maju rohani tersebut tidak dapat bertahan lama karena kehadiran dan pengaruh Pelaras Pikiran yang mendiami.
196:3.18 Pengalaman yang mendalam tentang realitas roh ilahi yang mendiami ini selamanya melampaui teknik materialistik kasar dari ilmu-ilmu fisika. Kamu tidak dapat menaruh sukacita rohani di bawah sebuah mikroskop; kamu tidak dapat menimbang kasih dalam sebuah neraca; kamu tidak dapat mengukur nilai-nilai moral; demikian juga kamu tidak dapat menaksir kualitas dari penyembahan rohani.
196:3.19 Orang-orang Ibrani memiliki suatu agama tentang keagungan moral; orang Yunani mengembangkan sebuah agama keindahan; Paulus dan para pendengarnya mendirikan sebuah agama iman, pengharapan dan amal baik[29]. Yesus mewahyukan dan meneladankan sebuah agama kasih: keamanan dalam kasih Bapa, dengan sukacita dan kepuasan yang diakibatkan pada waktu berbagi kasih ini dalam pelayanan persaudaraan manusia[30].
196:3.20 Setiap kali manusia membuat pilihan moral dari perenungan, dia segera mengalami suatu serbuan ilahi yang baru di jiwanya. Pilihan moral membentuk agama sebagai motif untuk tanggapan dari dalam terhadap kondisi-kondisi luar. Tetapi agama yang nyata tersebut adalah bukan suatu pengalaman subjektif semata-mata. Agama itu menunjukkan keseluruhan subjektivitas individu yang terlibat dalam tanggapan bermakna dan cerdas itu terhadap objektivitas total—yaitu alam semesta dan Pembuatnya.
196:3.21 Pengalaman yang indah dan transenden untuk mengasihi dan dikasihi itu adalah bukan hanya khayalan psikis hanya karena hal itu begitu sepenuhnya subjektif. Satu-satunya realitas yang benar-benar ilahi dan objektif yang terkait dengan manusia, yaitu Pelaras Pikiran, berfungsi pada pengamatan manusia kelihatannya sebagai fenomena yang semata-mata subjektif. Kontak manusia dengan realitas objektif tertinggi, Tuhan, adalah hanya melalui pengalaman murni subjektif mengenal Dia, menyembah Dia, dan menyadari sebagai anak-Nya.
196:3.22 Penyembahan keagamaan yang benar itu bukan suatu percakapan satu arah sia-sia yang menipu diri. Penyembahan adalah suatu persekutuan pribadi dengan apa yang nyata secara ilahi, dengan apa yang adalah sumber realitas itu sendiri. Manusia bercita-cita melalui penyembahan agar menjadi lebih baik dan dengan demikian pada akhirnya mencapai yang terbaik.
196:3.23 Idealisasi dan upaya layanan kebenaran, keindahan, dan kebaikan itu adalah bukan suatu pengganti untuk pengalaman keagamaan yang sejati—yaitu realitas rohani. Psikologi dan idealisme itu tidak setara dengan realitas keagamaan. Proyeksi-proyeksi dari kecerdasan manusia memang bisa menghasilkan tuhan-tuhan palsu—tuhan-tuhan dalam rupa manusia—tetapi kesadaran akan Tuhan yang sejati tidak berasal dari yang demikian. Kesadaran akan Tuhan itu berada dalam roh yang mendiami. Banyak sistem-sistem keagamaan manusia itu datang dari perumusan dari intelek manusia, tetapi kesadaran-Tuhan tidak harus menjadi bagian dari sistem-sistem perbudakan keagamaan yang buruk rupa ini.
196:3.24 Tuhan adalah bukan semata-mata penemuan dari idealismenya manusia; Dia itulah sumber semua wawasan dan nilai suprahewani tersebut. Tuhan itu bukan suatu hipotesis yang disusun untuk menyatukan konsep-konsep manusia tentang kebenaran, keindahan, dan kebaikan; Dia adalah kepribadian kasih, dari Dialah semua manifestasi alam semesta ini diturunkan. Kebenaran, keindahan, dan kebaikan di dunia manusia dipersatukan oleh meningkatnya kerohanian dari pengalaman manusia fana yang naik ke arah realitas-realitas Firdaus. Kesatuan antara kebenaran, keindahan, dan kebaikan itu hanya dapat diwujudkan dalam pengalaman rohani kepribadian yang mengenal Tuhan.
196:3.25 Moralitas adalah ranah kesadaran-Tuhan yang berpribadi yang pokok dan pra-ada, kesadaran pribadi terhadap kehadiran Pelaras yang di dalam, tetapi moralitas tersebut adalah bukan sumber dari pengalaman keagamaan dan wawasan rohani yang diakibatkannya. Kodrat moral itu adalah suprahewani, tetapi subrohani. Moralitas itu setara dengan pengenalan akan kewajiban, kesadaran akan adanya benar dan salah. Zona moral berada di tengah antara jenis pikiran hewan dan manusia ini, seperti halnya morontia berfungsi di antara bidang-bidang pencapaian kepribadian yang material dan yang spiritual.
196:3.26 Pikiran yang berevolusi dapat menemukan hukum, moral, dan etika; tetapi roh yang dianugerahkan, Pelaras yang tinggal di dalam, mengungkapkan pada pikiran manusia yang berevolusi itu sang pemberi hukum, Bapa-sumber semua yang benar, indah, dan baik; dan orang yang diterangi tersebut memiliki suatu agama dan secara rohani diperlengkapi untuk memulai perjalanan petualangan panjang untuk mencari Tuhan.
196:3.27 Moralitas itu tidak perlu harus rohani; moralitas itu itu bisa sepenuhnya dan murni manusiawi, meskipun agama yang sejati meningkatkan semua nilai-nilai moral, membuat nilai-nilai itu lebih bermakna. Moralitas tanpa agama gagal untuk mengungkapkan kebaikan yang paling dasar, dan hal itu juga gagal menyediakan untuk kelestarian nilai-nilai moralnya itu sendiri. Agama menyediakan peningkatan, pemuliaan, dan pelestarian pasti segala sesuatu yang dikenali dan disetujui oleh moralitas.
196:3.28 Agama berdiri di atas ilmu pengetahuan, seni, filsafat, etika, dan moral-moral, tetapi tidak independen dari hal-hal itu. Hal-hal itu semua tak terpisahkan saling terkait dalam pengalaman manusia, pribadi dan sosial. Agama adalah pengalaman tertingginya manusia dalam kodrat fana, tetapi bahasa yang terbatas membuat teologi selamanya tidak mungkin mampu menggambarkan secara memadai pengalaman keagamaan yang sebenarnya itu.
196:3.29 Wawasan keagamaan memiliki kuasa untuk mengubah kekalahan menjadi hasrat-hasrat yang lebih tinggi dan tekad-tekad yang baru. Kasih adalah motivasi tertinggi yang manusia bisa manfaat dalam kenaikan alam semestanya. Tetapi kasih, dilepaskan dari kebenaran, keindahan, dan kebaikan, adalah hanya suatu sentimen perasaan, suatu distorsi filosofis, suatu ilusi psikis, suatu penipuan rohani. Kasih harus selalu didefinisikan ulang pada tingkat-tingkat berturut-turut kemajuan morontia dan roh.
196:3.30 Seni dihasilkan dari upayanya manusia untuk melepaskan diri dari kurangnya keindahan dalam lingkungan materialnya; seni itu adalah suatu langkah ke arah tingkat morontia. Ilmu pengetahuan adalah upaya manusia untuk memecahkan teka-teki yang kelihatan di alam semesta material. Filsafat adalah upaya manusia untuk penyatuan pengalaman manusia. Agama adalah langkah tertingginya manusia, jangkauan hebatnya untuk realitas final, tekadnya untuk menemukan Tuhan dan menjadi seperti Dia.
196:3.31 Dalam bidang pengalaman keagamaan, kemungkinan rohani adalah realitas potensial. Dorongan maju rohani manusia itu bukan suatu ilusi psikis. Semua lamunan manusia tentang alam semesta mungkin bukan fakta, tetapi banyak, sangat banyak, yang adalah kebenaran.
196:3.32 Beberapa hidup manusia terlalu agung dan mulia untuk turun ke tingkat rendah menjadi sekedar hanya berhasil. Hewan harus menyesuaikan diri pada lingkungan, tetapi manusia yang beragama melampaui lingkungannya dan dengan cara ini melepaskan diri dari batasan-batasan dunia material sekarang ini melalui wawasan mendalam kasih ilahi ini. Konsep kasih ini membangkitkan dalam jiwa manusia itu, usaha suprahewani untuk menemukan kebenaran, keindahan, dan kebaikan; dan ketika ia benar-benar menemukan hal-hal itu, ia dipermuliakan dalam pelukan hal-hal itu; ia dipenuhi oleh hasrat untuk menghidupi hal-hal itu, untuk melakukan perbuatan yang benar.
196:3.33 Janganlah kecewa; evolusi manusia itu masih sedang berlangsung, dan pewahyuan Tuhan kepada dunia, dalam dan melalui Yesus, tidak akan gagal.
196:3.34 Tantangan besar pada manusia modern adalah untuk mencapai komunikasi yang lebih baik dengan Monitor ilahi yang tinggal di dalam batin manusia. Petualangan terbesarnya manusia dalam daging itu terdiri dalam usaha yang seimbang dan waras untuk memajukan batas-batas kesadaran diri keluar melalui wilayah kesadaran-jiwa embrionik yang masih samar-samar, dalam suatu usaha segenap hati untuk mencapai perbatasan kesadaran-roh—yaitu kontak dengan kehadiran ilahi itu. Pengalaman demikian merupakan kesadaran-Tuhan, suatu pengalaman yang dengan kuat menegaskan tentang kebenaran yang ada sebelumnya dari pengalaman keagamaan mengenal Tuhan. Kesadaran-roh tersebut adalah setara dengan pengetahuan tentang aktualitas keanakan dengan Tuhan. Dengan kata lain, kepastian keanakan itu adalah pengalaman iman.
196:3.35 Dan kesadaran-Tuhan itu setara dengan pengintegrasian antara diri dengan alam semesta, dan pada tingkat-tingkat realitas rohani tertingginya. Hanya kandungan roh dari suatu nilailah yang tidak bisa dimusnahkan. Bahkan apa yang benar, indah, dan baik itu mungkin tidak musnah dalam pengalaman manusia. Jika manusia tidak memilih untuk bertahan hidup, maka Pelaras yang masih bertahan hidup itu melestarikan realitas-realitas yang dilahirkan dari kasih dan dipupuk dalam pelayanan itu. Dan semua hal ini adalah suatu bagian dari Bapa Semesta. Bapa adalah kasih yang hidup, dan kehidupan Bapa ini ada dalam para Putra-Nya[31]. Dan roh Bapa ada dalam anak-anak dari para Putra-Nya—yaitu manusia fana. Ketika semua ini telah dikatakan dan dilakukan, gagasan Bapa itu masih merupakan konsep manusia yang tertinggi tentang Tuhan.