Buku Urantia dalam bahasa Inggris adalah Domain Publik di seluruh dunia sejak 2006.
Terjemahan: © 2020 Yayasan Urantia
THE CRUCIFIXION
PENYALIBAN
1955 187:0.1 AFTER the two brigands had been made ready, the soldiers, under the direction of a centurion, started for the scene of the crucifixion. The centurion in charge of these twelve soldiers was the same captain who had led forth the Roman soldiers the previous night to arrest Jesus in Gethsemane. It was the Roman custom to assign four soldiers for each person to be crucified. The two brigands were properly scourged before they were taken out to be crucified, but Jesus was given no further physical punishment; the captain undoubtedly thought he had already been sufficiently scourged, even before his condemnation.
2020 187:0.1 SETELAH dua bandit itu disiapkan, para prajurit, di bawah pimpinan seorang perwira, berangkat ke tempat penyaliban. Perwira yang bertanggung jawab atas dua belas tentara ini adalah kapten yang sama yang memimpin pasukan Romawi malam sebelumnya untuk menangkap Yesus di Getsemani. Menjadi kebiasaan Romawi untuk menugaskan empat tentara untuk setiap orang yang akan disalibkan. Kedua penjahat itu didera cambuk sesuai aturan sebelum mereka dibawa keluar untuk disalibkan, tetapi Yesus tidak diberi hukuman badan lebih lanjut; si kapten tentulah berpikir dia sudah cukup didera, bahkan sebelum dia dijatuhi hukuman mati.
1955 187:0.2 The two thieves crucified with Jesus were associates of Barabbas and would later have been put to death with their leader if he had not been released as the Passover pardon of Pilate. Jesus was thus crucified in the place of Barabbas.
1955 187:0.3 What Jesus is now about to do, submit to death on the cross, he does of his own free will. In foretelling this experience, he said: “The Father loves and sustains me because I am willing to lay down my life. But I will take it up again. No one takes my life away from me—I lay it down of myself. I have authority to lay it down, and I have authority to take it up. I have received such a commandment from my Father.”
2020 187:0.3 Apa yang Yesus sekarang hendak lakukan, tunduk kepada kematian di atas salib, dia melakukannya karena kemauan bebasnya sendiri. Pada waktu meramalkan pengalaman ini, dia berkata: “Bapa mengasihi dan menyokong aku karena aku bersedia untuk meletakkan hidupku[2]. Tapi aku akan mengambilnya lagi. Tidak ada yang mengambil hidupku dari aku—aku meletakkannya dari diriku sendiri. Aku memiliki wewenang untuk meletakkannya, dan aku memiliki wewenang untuk mengambilnya lagi. Aku telah menerima perintah seperti itu dari Bapaku.”
1955 187:0.4 It was just before nine o’clock this morning when the soldiers led Jesus from the praetorium on the way to Golgotha. They were followed by many who secretly sympathized with Jesus, but most of this group of two hundred or more were either his enemies or curious idlers who merely desired to enjoy the shock of witnessing the crucifixions. Only a few of the Jewish leaders went out to see Jesus die on the cross. Knowing that he had been turned over to the Roman soldiers by Pilate, and that he was condemned to die, they busied themselves with their meeting in the temple, whereat they discussed what should be done with his followers.
2020 187:0.4 Tepat sebelum pukul sembilan pagi ini ketika para prajurit membawa Yesus dari praetorium dalam perjalanan ke Golgota[3]. Mereka diikuti oleh banyak orang yang diam-diam bersimpati pada Yesus, tetapi sebagian besar dari kelompok dua ratus atau lebih ini adalah musuh-musuhnya atau para penganggur penasaran yang hanya ingin untuk menikmati kejutan menyaksikan penyaliban. Hanya beberapa pemimpin Yahudi yang keluar untuk melihat Yesus mati di atas salib[4]. Mengetahui bahwa dia telah diserahkan kepada tentara Romawi oleh Pilatus, dan bahwa dia dihukum mati, mereka menyibukkan diri mereka dengan pertemuan mereka di bait suci, dimana mereka membahas apa yang harus dilakukan pada pengikut-pengikutnya.
1. ON THE WAY TO GOLGOTHA
1. DALAM PERJALANAN KE GOLGOTA
1955 187:1.1 Before leaving the courtyard of the praetorium, the soldiers placed the crossbeam on Jesus’ shoulders. It was the custom to compel the condemned man to carry the crossbeam to the site of the crucifixion. Such a condemned man did not carry the whole cross, only this shorter timber. The longer and upright pieces of timber for the three crosses had already been transported to Golgotha and, by the time of the arrival of the soldiers and their prisoners, had been firmly implanted in the ground.
2020 187:1.1 Sebelum meninggalkan halaman gedung praetorium, para prajurit menempatkan palang salib di bahu Yesus[5]. Sudah menjadi kebiasaan untuk memaksa terhukum untuk membawa palang salib ke lokasi penyaliban. Terhukum tersebut tidak membawa seluruh salib, hanya balok kayu yang lebih pendek ini. Potongan balok kayu yang panjang dan tegak untuk tiga salib sudah dikirim ke Golgota dan, pada saat kedatangan para prajurit dan tahanan mereka, telah ditancapkan kuat di tanah.
1955 187:1.2 According to custom the captain led the procession, carrying small white boards on which had been written with charcoal the names of the criminals and the nature of the crimes for which they had been condemned. For the two thieves the centurion had notices which gave their names, underneath which was written the one word, “Brigand.” It was the custom, after the victim had been nailed to the crossbeam and hoisted to his place on the upright timber, to nail this notice to the top of the cross, just above the head of the criminal, that all witnesses might know for what crime the condemned man was being crucified. The legend which the centurion carried to put on the cross of Jesus had been written by Pilate himself in Latin, Greek, and Aramaic, and it read: “Jesus of Nazareth—the King of the Jews.”
2020 187:1.2 Menurut kebiasaan, kapten memimpin arak-arakan, membawa papan putih kecil yang telah ditulisi dengan arang nama-nama para penjahat dan kejahatan karena apa mereka dijatuhi hukuman mati. Untuk dua bandit itu perwira itu membuat pemberitahuan nama mereka, lalu di bawahnya ditulis satu kata, “Penjahat.” Sudah menjadi kebiasaan, setelah korban dipakukan ke palang dan dinaikkan ke tempatnya ke atas kayu yang tegak, untuk memakukan pemberitahuan ini di bagian atas salib, tepat di atas kepala penjahat itu, sehingga semua saksi bisa tahu karena kejahatan apa terhukum itu disalibkan. Tulisan yang perwira itu bawa untuk dipasang pada salib Yesus telah ditulis oleh Pilatus sendiri dalam bahasa Latin, Yunani, dan Aram, dan itu dibaca: “Yesus dari Nazaret—Raja orang Yahudi[6].”
1955 187:1.3 Some of the Jewish authorities who were yet present when Pilate wrote this legend made vigorous protest against calling Jesus the “king of the Jews.” But Pilate reminded them that such an accusation was part of the charge which led to his condemnation. When the Jews saw they could not prevail upon Pilate to change his mind, they pleaded that at least it be modified to read, “He said, ‘I am the king of the Jews.’” But Pilate was adamant; he would not alter the writing. To all further supplication he only replied, “What I have written, I have written.”
2020 187:1.3 Beberapa penguasa Yahudi yang belum hadir ketika Pilatus menulis tulisan ini membuat protes keras terhadap sebutan Yesus “Raja orang Yahudi.” Tapi Pilatus mengingatkan mereka bahwa tuduhan tersebut adalah bagian dari dakwaan yang menyebabkan dia dihukum. Ketika orang-orang Yahudi melihat mereka tidak bisa membujuk Pilatus untuk berubah pikiran, mereka memohon agar setidaknya itu diubah sehingga terbaca, “Dia berkata, 'Aku adalah Raja orang Yahudi.'” Tapi Pilatus bersikeras; ia tidak mau mengubah tulisan itu. Terhadap semua permohonan lebih lanjut ia hanya menjawab, “Apa yang telah aku tulis, aku telah tulis[7].”
1955 187:1.4 Ordinarily, it was the custom to journey to Golgotha by the longest road in order that a large number of persons might view the condemned criminal, but on this day they went by the most direct route to the Damascus gate, which led out of the city to the north, and following this road, they soon arrived at Golgotha, the official crucifixion site of Jerusalem. Beyond Golgotha were the villas of the wealthy, and on the other side of the road were the tombs of many well-to-do Jews.
2020 187:1.4 Biasanya, menjadi kebiasaan untuk melakukan perjalanan ke Golgota melalui jalan terpanjang agar sejumlah besar orang bisa melihat penjahat yang dihukum itu, tetapi pada hari ini mereka pergi melalui rute yang paling langsung ke gerbang Damaskus, yang mengarah keluar dari kota ke utara, dan mengikuti jalan ini, mereka segera tiba di Golgota, tempat penyaliban resmi di Yerusalem. Melewati Golgota ada vila-vila orang kaya, dan di sisi lain jalan ada makam banyak orang Yahudi terhormat.
1955 187:1.5 Crucifixion was not a Jewish mode of punishment. Both the Greeks and the Romans learned this method of execution from the Phoenicians. Even Herod, with all his cruelty, did not resort to crucifixion. The Romans never crucified a Roman citizen; only slaves and subject peoples were subjected to this dishonorable mode of death. During the siege of Jerusalem, just forty years after the crucifixion of Jesus, all of Golgotha was covered by thousands upon thousands of crosses upon which, from day to day, there perished the flower of the Jewish race. A terrible harvest, indeed, of the seed-sowing of this day.
2020 187:1.5 Penyaliban bukanlah modus hukuman Yahudi. Baik orang Yunani maupun Romawi belajar metode eksekusi ini dari orang Fenisia. Bahkan Herodes, dengan segala kekejamannya, tidak memilih penyaliban. Bangsa Romawi tidak pernah menyalibkan seorang warga Romawi; hanya budak dan orang-orang jajahan yang dikenai cara kematian yang tidak terhormat ini. Selama pengepungan Yerusalem, hanya empat puluh tahun setelah penyaliban Yesus, seluruh Golgota ditutupi oleh beribu-ribu salib, di atas mana, dari hari ke hari, musnahlah kesuma bangsa Yahudi. Tuaian yang mengerikan, memang, dari taburan benih hari ini.
1955 187:1.6 As the death procession passed along the narrow streets of Jerusalem, many of the tenderhearted Jewish women who had heard Jesus’ words of good cheer and compassion, and who knew of his life of loving ministry, could not refrain from weeping when they saw him being led forth to such an ignoble death. As he passed by, many of these women bewailed and lamented. And when some of them even dared to follow along by his side, the Master turned his head toward them and said: “Daughters of Jerusalem, weep not for me, but rather weep for yourselves and for your children. My work is about done—soon I go to my Father—but the times of terrible trouble for Jerusalem are just beginning. Behold, the days are coming in which you shall say: Blessed are the barren and those whose breasts have never suckled their young. In those days will you pray the rocks of the hills to fall on you in order that you may be delivered from the terrors of your troubles.”
2020 187:1.6 Sementara prosesi kematian itu lewat sepanjang jalan-jalan sempit Yerusalem, banyak perempuan Yahudi yang berhati lembut yang telah mendengar kata-kata gembira dan belas kasihan dari Yesus, dan yang kenal kehidupan pelayanan kasihnya, tidak bisa menahan tangisan ketika mereka melihat dia sedang dibawa ke kematian yang begitu tercela. Saat dia lewat, banyak dari perempuan ini meraung dan meratap. Dan ketika beberapa dari mereka bahkan berani untuk mengikuti di sisinya, Guru memalingkan kepalanya ke arah mereka dan berkata: “Putri-putri Yerusalem, janganlah kalian menangisi aku, melainkan tangisilah dirimu sendiri dan anak-anakmu[8]. Pekerjaanku hampir selesai—segera aku pergi kepada Bapaku—tetapi masa-masa sulit yang mengerikan bagi Yerusalem baru dimulai. Lihatlah, waktunya akan datang ketika kalian akan berkata: Diberkatilah mereka yang mandul dan mereka yang tidak pernah menyusui bayi mereka. Pada hari-hari itu kalian akan berdoa agar batu-batu dari bukit jatuh menimpa kalian agar kalian dapat dilepaskan dari kengerian masalah kalian[9].”
1955 187:1.7 These women of Jerusalem were indeed courageous to manifest sympathy for Jesus, for it was strictly against the law to show friendly feelings for one who was being led forth to crucifixion. It was permitted the rabble to jeer, mock, and ridicule the condemned, but it was not allowed that any sympathy should be expressed. Though Jesus appreciated the manifestation of sympathy in this dark hour when his friends were in hiding, he did not want these kindhearted women to incur the displeasure of the authorities by daring to show compassion in his behalf. Even at such a time as this Jesus thought little about himself, only of the terrible days of tragedy ahead for Jerusalem and the whole Jewish nation.
2020 187:1.7 Para wanita Yerusalem ini memang berani untuk menunjukkan simpati bagi Yesus, karena benar-benar melanggar hukum jika menunjukkan perasaan bersahabat bagi orang yang sedang dibawa ke penyaliban. Diizinkan bagi rakyat jelata untuk mengejek, mencemooh, dan mencaci-maki terhukum, tapi tidak diperbolehkan simpati apapun diungkapkan. Meskipun Yesus menghargai pernyataan simpati dalam saat kelam ini ketika teman-temannya berada dalam persembunyian, dia tidak ingin wanita-wanita yang lembut hati ini mendatangkan ketidak-senangan para penguasa karena berani menunjukkan belas kasihan demi dirinya. Bahkan pada saat yang seperti itu Yesus berpikir sedikit tentang dirinya sendiri, tetapi hanya tentang hari-hari mengerikan tragedi di depan terhadap Yerusalem dan seluruh bangsa Yahudi.
1955 187:1.8 As the Master trudged along on the way to the crucifixion, he was very weary; he was nearly exhausted. He had had neither food nor water since the Last Supper at the home of Elijah Mark; neither had he been permitted to enjoy one moment of sleep. In addition, there had been one hearing right after another up to the hour of his condemnation, not to mention the abusive scourgings with their accompanying physical suffering and loss of blood. Superimposed upon all this was his extreme mental anguish, his acute spiritual tension, and a terrible feeling of human loneliness.
2020 187:1.8 Sementara Guru melangkah susah payah sepanjang jalan ke penyaliban, dia sangat lelah; dia hampir kehabisan tenaga. Dia tidak mendapat makanan atau air sejak Perjamuan Terakhir di rumah Elia Markus; dia tidak juga diizinkan untuk menikmati tidur sejenak pun. Tambahan lagi, satu sidang dilakukan tepat setelah sidang sebelumnya sampai jam penghukumannya, belum lagi deraan kasar yang berakibat penderitaan badan dan kehilangan darah. Ditumpangkan ke atas semua ini adalah penderitaan mentalnya yang ekstrim, ketegangan rohaninya yang akut, dan suatu perasaan kesepian manusiawi yang mengerikan.
1955 187:1.9 Shortly after passing through the gate on the way out of the city, as Jesus staggered on bearing the crossbeam, his physical strength momentarily gave way, and he fell beneath the weight of his heavy burden. The soldiers shouted at him and kicked him, but he could not arise. When the captain saw this, knowing what Jesus had already endured, he commanded the soldiers to desist. Then he ordered a passerby, one Simon from Cyrene, to take the crossbeam from Jesus’ shoulders and compelled him to carry it the rest of the way to Golgotha.
2020 187:1.9 Tak lama setelah melewati gerbang pada perjalanan keluar dari kota, saat Yesus terhuyung-huyung memikul palang kayu, kekuatan badannya sejenak menyerah, dan dia jatuh di bawah bobot bebannya yang berat. Para prajurit berteriak kepadanya dan menendangnya, tapi dia tidak dapat bangun. Ketika kapten melihat ini, mengetahui apa yang Yesus sudah tanggung, ia memerintahkan para prajurit itu untuk berhenti. Kemudian ia menyuruh seorang yang lewat, seorang bernama Simon dari Kirene, untuk mengambil palang dari bahu Yesus dan memaksanya untuk membawanya pada sisa perjalanan ke Golgota[10].
1955 187:1.10 This man Simon had come all the way from Cyrene, in northern Africa, to attend the Passover. He was stopping with other Cyrenians just outside the city walls and was on his way to the temple services in the city when the Roman captain commanded him to carry Jesus’ crossbeam. Simon lingered all through the hours of the Master’s death on the cross, talking with many of his friends and with his enemies. After the resurrection and before leaving Jerusalem, he became a valiant believer in the gospel of the kingdom, and when he returned home, he led his family into the heavenly kingdom. His two sons, Alexander and Rufus, became very effective teachers of the new gospel in Africa. But Simon never knew that Jesus, whose burden he bore, and the Jewish tutor who once befriended his injured son, were the same person.
2020 187:1.10 Orang bernama Simon ini telah datang jauh-jauh dari Kirene, di Afrika Utara, untuk menghadiri Paskah. Dia sedang berhenti sebentar dengan orang-orang Kirene lain tepat di luar tembok kota dan sedang dalam perjalanan ke ibadah bait suci di dalam kota ketika kapten Romawi memerintahkan dia untuk membawa palang salibnya Yesus. Simon tetap bertahan di situ sepanjang jam kematian Guru di atas salib, berbicara dengan banyak teman-temannya dan dengan musuh-musuhnya. Setelah kebangkitan dan sebelum meninggalkan Yerusalem, ia menjadi orang percaya yang berani dalam injil kerajaan, dan ketika ia pulang, ia memimpin keluarganya masuk ke dalam kerajaan surga. Kedua putranya, Aleksander dan Rufus, menjadi guru-guru injil baru yang sangat efektif di Afrika[11]. Namun Simon tidak pernah tahu bahwa Yesus, yang bebannya ia pikul itu, dan tutor Yahudi yang dulu pernah berteman dengan anaknya yang terluka itu, adalah orang yang sama.
1955 187:1.11 It was shortly after nine o’clock when this procession of death arrived at Golgotha, and the Roman soldiers set themselves about the task of nailing the two brigands and the Son of Man to their respective crosses.
2. THE CRUCIFIXION
2. PENYALIBAN
1955 187:2.1 The soldiers first bound the Master’s arms with cords to the crossbeam, and then they nailed his hands to the wood. When they had hoisted this crossbeam up on the post, and after they had nailed it securely to the upright timber of the cross, they bound and nailed his feet to the wood, using one long nail to penetrate both feet. The upright timber had a large peg, inserted at the proper height, which served as a sort of saddle for supporting the body weight. The cross was not high, the Master’s feet being only about three feet from the ground. He was therefore able to hear all that was said of him in derision and could plainly see the expression on the faces of all those who so thoughtlessly mocked him. And also could those present easily hear all that Jesus said during these hours of lingering torture and slow death.
2020 187:2.1 Para prajurit pertama-tama mengikat lengan Guru dengan tali ke palang salib, dan kemudian mereka memakukan tangannya ke kayu itu. Setelah mereka menaikkan palang ini di atas tiang, dan setelah mereka memakukannya dengan kuat ke kayu salib yang tegak, mereka mengikat dan memakukan kakinya ke kayu, menggunakan satu paku panjang untuk menembus kedua kaki. Kayu yang tegak memiliki sebuah pasak besar, yang dipasang pada ketinggian tertentu, yang berfungsi sebagai semacam sadel (dudukan) untuk mendukung berat badan. Salib itu tidak tinggi, kakinya Guru hanya sekitar satu meter dari tanah. Karena itu dia dapat mendengar semua yang dikatakan tentang dia dengan berolok-olok dan dengan jelas bisa melihat ekspresi di wajah semua orang yang tanpa berpikir mengejeknya. Dan juga mereka yang hadir dengan mudah bisa mendengar semua yang dikatakan Yesus selama jam-jam penyiksaan yang lama dan kematian yang perlahan-lahan ini[13].
1955 187:2.2 It was the custom to remove all clothes from those who were to be crucified, but since the Jews greatly objected to the public exposure of the naked human form, the Romans always provided a suitable loin cloth for all persons crucified at Jerusalem. Accordingly, after Jesus’ clothes had been removed, he was thus garbed before he was put upon the cross.
2020 187:2.2 Menjadi kebiasaan untuk melepas semua pakaian dari mereka yang akan disalibkan, tapi karena orang-orang Yahudi sangat keberatan pada paparan di depan umum dari wujud manusia telanjang, orang Romawi selalu menyediakan kain pinggang yang sesuai untuk semua orang yang disalibkan di Yerusalem. Dengan demikian, setelah pakaian Yesus ditanggalkan, dia diberi pakaian seperti itu sebelum dia ditaruh di atas salib.
1955 187:2.3 Crucifixion was resorted to in order to provide a cruel and lingering punishment, the victim sometimes not dying for several days. There was considerable sentiment against crucifixion in Jerusalem, and there existed a society of Jewish women who always sent a representative to crucifixions for the purpose of offering drugged wine to the victim in order to lessen his suffering. But when Jesus tasted this narcotized wine, as thirsty as he was, he refused to drink it. The Master chose to retain his human consciousness until the very end. He desired to meet death, even in this cruel and inhuman form, and conquer it by voluntary submission to the full human experience.
2020 187:2.3 Penyaliban itu dipilih untuk memberikan hukuman yang kejam dan lama, korban kadang-kadang belum mati selama beberapa hari. Ada sentimen yang cukup besar melawan penyaliban di Yerusalem, dan di sana ada sebuah masyarakat wanita Yahudi yang selalu mengirim perwakilan ke penyaliban dengan tujuan menawarkan anggur bius kepada korban dalam rangka untuk mengurangi penderitaannya. Tetapi ketika Yesus mencicipi anggur yang diberi obat bius ini, sekalipun dia haus sekali, namun dia menolak untuk meminumnya[14]. Guru memilih untuk mempertahankan kesadaran manusiawinya sampai pada akhirnya. Dia ingin menghadapi kematian, bahkan dalam bentuk yang kejam dan tidak manusiawi ini, dan menaklukkannya dengan penyerahan sukarela pada pengalaman manusia penuh.
1955 187:2.4 Before Jesus was put on his cross, the two brigands had already been placed on their crosses, all the while cursing and spitting upon their executioners. Jesus’ only words, as they nailed him to the crossbeam, were, “Father, forgive them, for they know not what they do.” He could not have so mercifully and lovingly interceded for his executioners if such thoughts of affectionate devotion had not been the mainspring of all his life of unselfish service. The ideas, motives, and longings of a lifetime are openly revealed in a crisis.
2020 187:2.4 Sebelum Yesus ditaruh di atas salibnya, kedua penjahat itu sudah ditempatkan pada salib mereka, semua sambil mengutuk dan meludah pada algojo-algojo mereka[15]. Satu-satunya kata Yesus, saat mereka memakukan dia ke palang salib, adalah, “Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan[16].” Dia tidak bisa bersyafaat begitu penuh rahmat dan penuh kasih bagi para algojonya jika saja pikiran-pikiran pengabdian kasih sayangnya tidak menjadi motivasi utama seluruh hidup pelayanannya yang tidak mementingkan diri itu. Ide-ide, motif-motif, dan kerinduan-kerinduan seumur hidup itu secara terbuka terungkap dalam suatu krisis.
1955 187:2.5 After the Master was hoisted on the cross, the captain nailed the title up above his head, and it read in three languages, “Jesus of Nazareth—the King of the Jews.” The Jews were infuriated by this believed insult. But Pilate was chafed by their disrespectful manner; he felt he had been intimidated and humiliated, and he took this method of obtaining petty revenge. He could have written “Jesus, a rebel.” But he well knew how these Jerusalem Jews detested the very name of Nazareth, and he was determined thus to humiliate them. He knew that they would also be cut to the very quick by seeing this executed Galilean called “The King of the Jews.”
2020 187:2.5 Setelah Guru dinaikkan ke atas salib, kapten memakukan gelar di atas kepalanya, dan terbaca dalam tiga bahasa, “Yesus dari Nazaret—Raja orang Yahudi[17].” Orang-orang Yahudi menjadi murka oleh hal ini yang mereka anggap hinaan. Tapi Pilatus dongkol oleh cara tidak sopan mereka; ia merasa telah diintimidasi dan dipermalukan, dan ia mengambil metode ini untuk mendapatkan balas dendam kecil-kecilan. Ia bisa menulis “Yesus, pemberontak.” Tapi dia juga tahu bagaimana orang-orang Yahudi Yerusalem ini membenci nama Nazaret itu sendiri, dan ia bertekad begitu untuk mempermalukan mereka. Ia tahu bahwa mereka juga akan tersinggung seketika dengan melihat orang Galilea yang dieksekusi ini disebut “Raja orang Yahudi.”
1955 187:2.6 Many of the Jewish leaders, when they learned how Pilate had sought to deride them by placing this inscription on the cross of Jesus, hastened out to Golgotha, but they dared not attempt to remove it since the Roman soldiers were standing on guard. Not being able to remove the title, these leaders mingled with the crowd and did their utmost to incite derision and ridicule, lest any give serious regard to the inscription.
2020 187:2.6 Banyak dari para pemimpin Yahudi, ketika mereka tahu bagaimana Pilatus telah berusaha untuk mencemooh mereka dengan menempatkan tulisan ini di atas salib Yesus, bergegas keluar ke Golgota, tetapi mereka tidak berani mencoba untuk mengambilnya karena tentara Romawi berdiri menjaga. Karena tidak mampu membuang gelar itu, para pemimpin ini berbaur dengan orang banyak dan berbuat sebisa mereka untuk membangkitkan ejekan dan cemoohan, supaya jangan menganggap serius tulisan itu.
1955 187:2.7 The Apostle John, with Mary the mother of Jesus, Ruth, and Jude, arrived on the scene just after Jesus had been hoisted to his position on the cross, and just as the captain was nailing the title above the Master’s head. John was the only one of the eleven apostles to witness the crucifixion, and even he was not present all of the time since he ran into Jerusalem to bring back his mother and her friends soon after he had brought Jesus’ mother to the scene.
2020 187:2.7 Rasul Yohanes, bersama Maria, ibu Yesus, Rut, dan Yudas, tiba di tempat kejadian tepat setelah Yesus dinaikkan ke posisinya di atas salib, dan pada saat kapten sedang memakukan tulisan di atas kepalanya Guru[18]. Yohanes adalah satu-satunya dari sebelas rasul yang menyaksikan penyaliban, dan bahkan ia tidak hadir sepanjang waktu karena ia berlari masuk Yerusalem untuk membawa kembali ibunya dan teman-temannya segera setelah ia membawa ibunya Yesus ke tempat kejadian.
1955 187:2.8 As Jesus saw his mother, with John and his brother and sister, he smiled but said nothing. Meanwhile the four soldiers assigned to the Master’s crucifixion, as was the custom, had divided his clothes among them, one taking the sandals, one the turban, one the girdle, and the fourth the cloak. This left the tunic, or seamless vestment reaching down to near the knees, to be cut up into four pieces, but when the soldiers saw what an unusual garment it was, they decided to cast lots for it. Jesus looked down on them while they divided his garments, and the thoughtless crowd jeered at him.
2020 187:2.8 Ketika Yesus melihat ibunya, bersama Yohanes dan adik-adiknya, dia tersenyum tetapi tidak berkata apa-apa. Sementara itu empat prajurit yang ditugasi untuk penyaliban Guru, seperti kebiasaan, telah membagi pakaiannya di antara mereka, satu orang mengambil sandal, satu sorban, satu ikat pinggang, dan yang keempat mantel[19]. Tersisalah tunik, atau jubah tanpa jahitan yang sampai mencapai ke dekat lutut, yang hendak dipotong menjadi empat bagian, tetapi ketika para prajurit melihat bagaimana tidak umumnya pakaian itu, mereka memutuskan untuk membuang undi untuk itu. Yesus memandang ke bawah kepada mereka sementara mereka membagi pakaiannya, dan kerumunan orang-orang yang tidak berpikir itu mencemooh dia.
1955 187:2.9 It was well that the Roman soldiers took possession of the Master’s clothing. Otherwise, if his followers had gained possession of these garments, they would have been tempted to resort to superstitious relic worship. The Master desired that his followers should have nothing material to associate with his life on earth. He wanted to leave mankind only the memory of a human life dedicated to the high spiritual ideal of being consecrated to doing the Father’s will.
2020 187:2.9 Benarlah bahwa tentara Romawi yang mengambil pakaiannya Guru. Jika tidak, jika pengikutnya memiliki pakaian-pakaian ini, mereka akan tergoda untuk berpindah ke penyembahan benda suci yang takhyul. Guru ingin agar para pengikutnya tidak memiliki apapun yang bersifat materi untuk dihubungkan dengan hidupnya di bumi. Dia ingin meninggalkan pada umat manusia hanya kenangan tentang kehidupan seorang manusia yang diabdikan pada cita-cita rohani tinggi yang disucikan untuk melakukan kehendak Bapa.
3. THOSE WHO SAW THE CRUCIFIXION
3. MEREKA YANG MELIHAT PENYALIBAN
1955 187:3.1 At about half past nine o’clock this Friday morning, Jesus was hung upon the cross. Before eleven o’clock, upward of one thousand persons had assembled to witness this spectacle of the crucifixion of the Son of Man. Throughout these dreadful hours the unseen hosts of a universe stood in silence while they gazed upon this extraordinary phenomenon of the Creator as he was dying the death of the creature, even the most ignoble death of a condemned criminal.
2020 187:3.1 Sekitar jam setengah sepuluh hari Jumat pagi ini, Yesus digantung di atas salib[20]. Sebelum jam sebelas, lebih dari seribu orang telah berkumpul untuk menyaksikan tontonan penyaliban Anak Manusia ini. Sepanjang jam-jam mengerikan ini kawanan gaib sebuah alam semesta berdiri dalam hening sementara mereka menatap pada fenomena luar biasa Sang Pencipta saat ia sedang mengalami sekarat ajal makhluk, bahkan kematian yang paling hina dari penjahat yang dihukum.
1955 187:3.2 Standing near the cross at one time or another during the crucifixion were Mary, Ruth, Jude, John, Salome (John’s mother), and a group of earnest women believers including Mary the wife of Clopas and sister of Jesus’ mother, Mary Magdalene, and Rebecca, onetime of Sepphoris. These and other friends of Jesus held their peace while they witnessed his great patience and fortitude and gazed upon his intense sufferings.
2020 187:3.2 Berdiri dekat salib pada satu waktu atau lainnya selama penyaliban itu adalah Maria, Rut, Yudas, Yohanes, Salome (ibu Yohanes), dan sekelompok perempuan yang percaya sungguh-sungguh termasuk Maria istri Klopas dan saudari ibunya Yesus, Maria Magdalena, dan Ribka, mantan dari Sepphoris[21]. Mereka ini dan teman-teman Yesus lainnya menahan ketenangan mereka sementara mereka menyaksikan kesabaran dan ketabahannya yang besar dan menatap penderitaannya yang hebat.
1955 187:3.3 Many who passed by wagged their heads and, railing at him, said: “You who would destroy the temple and build it again in three days, save yourself. If you are the Son of God, why do you not come down from your cross?” In like manner some of the rulers of the Jews mocked him, saying, “He saved others, but himself he cannot save.” Others said, “If you are the king of the Jews, come down from the cross, and we will believe in you.” And later on they mocked him the more, saying: “He trusted in God to deliver him. He even claimed to be the Son of God—look at him now—crucified between two thieves.” Even the two thieves also railed at him and cast reproach upon him.
2020 187:3.3 Banyak orang yang lewat menggelengkan kepala mereka dan, sambil mencerca dia, mengatakan: “Kamu yang mau menghancurkan Bait Suci dan membangunnya kembali dalam tiga hari, selamatkan dirimu sendiri. Jika kamu Anak Allah, mengapa kamu tidak turun dari salibmu?” Dengan cara serupa beberapa penguasa orang Yahudi mengejek dia, mengatakan, “Dia menyelamatkan orang lain, tapi dirinya sendiri ia tidak dapat selamatkan.” Lainnya berkata, “Jika kamu adalah raja orang Yahudi, turun dari salib, dan kami akan percaya kepadamu.” Dan belakangan mereka tambah mengejek dia lagi, dengan mengatakan: “Dia percaya Allah akan membebaskan dia. Dia bahkan mengaku sebagai Anak Allah—lihat dia sekarang—disalibkan di antara dua penjahat.” Bahkan dua penjahat itu juga menghujat dia dan melemparkan celaan atasnya[22].
1955 187:3.4 Inasmuch as Jesus would make no reply to their taunts, and since it was nearing noontime of this special preparation day, by half past eleven o’clock most of the jesting and jeering crowd had gone its way; less than fifty persons remained on the scene. The soldiers now prepared to eat lunch and drink their cheap, sour wine as they settled down for the long deathwatch. As they partook of their wine, they derisively offered a toast to Jesus, saying, “Hail and good fortune! to the king of the Jews.” And they were astonished at the Master’s tolerant regard of their ridicule and mocking.
2020 187:3.4 Berhubung Yesus tidak mau membuat jawaban terhadap ejekan mereka, dan karena sudah mendekati tengah hari pada hari persiapan khusus ini, menjelang jam setengah dua belas sebagian besar kerumunan pengolok-olok dan pencemooh telah pergi; kurang dari lima puluh orang masih di tempat kejadian. Para prajurit sekarang bersiap untuk makan siang dan minum anggur asam murahan mereka sementara mereka duduk untuk penungguan kematian yang panjang. Saat mereka minum anggur mereka, mereka dengan mengejek menawarkan bersulang kepada Yesus, mengatakan, “Salam dan nasib baik! kepada raja orang Yahudi[23].” Dan mereka heran akan pandangan toleran Guru terhadap ejekan dan makian mereka.
1955 187:3.5 When Jesus saw them eat and drink, he looked down upon them and said, “I thirst.” When the captain of the guard heard Jesus say, “I thirst,” he took some of the wine from his bottle and, putting the saturated sponge stopper upon the end of a javelin, raised it to Jesus so that he could moisten his parched lips.
2020 187:3.5 Ketika Yesus melihat mereka makan dan minum, dia melihat ke bawah atas mereka dan berkata, “aku haus[24].” Ketika kapten penjaga mendengar Yesus berkata, “aku haus,” ia mengambil sedikit air anggur dari botolnya dan, menaruh spons penutup botol yang basah itu di ujung sebuah tombak, mengangkatnya kepada Yesus sehingga dia bisa membasahi bibirnya yang kering.
1955 187:3.6 Jesus had purposed to live without resort to his supernatural power, and he likewise elected to die as an ordinary mortal upon the cross. He had lived as a man, and he would die as a man—doing the Father’s will.
2020 187:3.6 Yesus telah bermaksud untuk hidup tanpa mempergunakan kuasa adikodratinya, dan dia demikian juga memilih untuk meninggal sebagai manusia biasa di atas salib. Dia telah hidup sebagai seorang manusia, dan dia ingin mati sebagai seorang manusia—melakukan kehendak Bapa.
4. THE THIEF ON THE CROSS
4. PENJAHAT DI ATAS SALIB
1955 187:4.1 One of the brigands railed at Jesus, saying, “If you are the Son of God, why do you not save yourself and us?” But when he had reproached Jesus, the other thief, who had many times heard the Master teach, said: “Do you have no fear even of God? Do you not see that we are suffering justly for our deeds, but that this man suffers unjustly? Better that we should seek forgiveness for our sins and salvation for our souls.” When Jesus heard the thief say this, he turned his face toward him and smiled approvingly. When the malefactor saw the face of Jesus turned toward him, he mustered up his courage, fanned the flickering flame of his faith, and said, “Lord, remember me when you come into your kingdom.” And then Jesus said, “Verily, verily, I say to you today, you shall sometime be with me in Paradise.”
2020 187:4.1 Salah satu bandit itu mengumpat kepada Yesus, katanya: “Jika kamu Anak Allah, kenapa tidak menyelamatkan dirimu dan kami?” Tapi setelah ia mencela Yesus, bandit satunya, yang telah berkali-kali mendengar Guru mengajar, berkata: “Apakah kamu tidak takut pada Allah? Tidakkah kamu lihat bahwa kita menderita secara adil karena perbuatan kita, tetapi orang ini menderita secara tidak adil? Lebih baik kita harusnya mencari pengampunan atas dosa-dosa kita dan keselamatan bagi jiwa kita[25][26].” Ketika Yesus mendengar penjahat itu mengatakan ini, dia memalingkan wajahnya ke arahnya dan tersenyum menyetujui. Ketika si penjahat itu melihat wajah Yesus berpaling ke arahnya, ia mengerahkan keberaniannya, mengipasi nyala imannya yang berkelip-kelip, dan berkata, “Tuhan, ingatlah akan aku apabila engkau datang ke dalam kerajaanmu.” Lalu Yesus berkata, “Sesungguhnya, aku berkata kepadamu hari ini, kamu suatu waktu nanti akan bersama aku di Firdaus[27].”
1955 187:4.2 The Master had time amidst the pangs of mortal death to listen to the faith confession of the believing brigand. When this thief reached out for salvation, he found deliverance. Many times before this he had been constrained to believe in Jesus, but only in these last hours of consciousness did he turn with a whole heart toward the Master’s teaching. When he saw the manner in which Jesus faced death upon the cross, this thief could no longer resist the conviction that this Son of Man was indeed the Son of God.
2020 187:4.2 Guru masih memiliki waktu di tengah-tengah sengatan pedihnya maut untuk mendengarkan pengakuan iman dari bandit yang percaya itu. Ketika penjahat ini mencari keselamatan, ia menemukan kebebasan. Banyak kali sebelum ini ia telah cenderung untuk percaya kepada Yesus, tetapi hanya dalam jam-jam terakhir kesadaran ini ia berpaling dengan sepenuh hati kepada ajarannya Guru. Ketika ia melihat cara bagaimana Yesus menghadapi maut di atas salib, penjahat ini tidak bisa lagi menolak keyakinan bahwa Anak Manusia ini memang Anak Tuhan.
1955 187:4.3 During this episode of the conversion and reception of the thief into the kingdom by Jesus, the Apostle John was absent, having gone into the city to bring his mother and her friends to the scene of the crucifixion. Luke subsequently heard this story from the converted Roman captain of the guard.
2020 187:4.3 Selama episode pertobatan dan penerimaan penjahat ini ke dalam kerajaan oleh Yesus, Rasul Yohanes tidak hadir, karena telah pergi ke dalam kota untuk membawa ibunya dan teman-temannya ke tempat penyaliban. Lukas kemudian mendengar cerita ini dari kapten penjaga Romawi yang bertobat.
1955 187:4.4 The Apostle John told about the crucifixion as he remembered the event two thirds of a century after its occurrence. The other records were based upon the recital of the Roman centurion on duty who, because of what he saw and heard, subsequently believed in Jesus and entered into the full fellowship of the kingdom of heaven on earth.
2020 187:4.4 Rasul Yohanes menceritakan tentang penyaliban itu seperti yang dia ingat peristiwa itu dua pertiga abad setelah kejadiannya. Catatan lain didasarkan pada kisah dari perwira Romawi yang bertugas itu, yang karena apa yang ia lihat dan dengar, kemudian percaya Yesus dan masuk ke dalam persekutuan penuh kerajaan surga di bumi.
1955 187:4.5 This young man, the penitent brigand, had been led into a life of violence and wrongdoing by those who extolled such a career of robbery as an effective patriotic protest against political oppression and social injustice. And this sort of teaching, plus the urge for adventure, led many otherwise well-meaning youths to enlist in these daring expeditions of robbery. This young man had looked upon Barabbas as a hero. Now he saw that he had been mistaken. Here on the cross beside him he saw a really great man, a true hero. Here was a hero who fired his zeal and inspired his highest ideas of moral self-respect and quickened all his ideals of courage, manhood, and bravery. In beholding Jesus, there sprang up in his heart an overwhelming sense of love, loyalty, and genuine greatness.
2020 187:4.5 Orang muda ini, penjahat yang bertobat ini, telah terbawa ke dalam kehidupan kekerasan dan perbuatan salah oleh orang-orang yang memuja-muja karier perampokan tersebut sebagai protes patriotik yang efektif melawan penindasan politik dan ketidakadilan sosial. Dan jenis ajaran semacam ini, ditambah dorongan untuk petualangan, menyebabkan banyak pemuda lainnya yang berniat baik mendaftar dalam ekspedisi-ekspedisi perampokan yang berani ini. Anak muda ini telah memandang Barabas sebagai pahlawan. Sekarang ia melihat bahwa ia telah keliru. Di sini di kayu salib di sampingnya ia melihat seseorang yang benar-benar hebat, seorang pahlawan sejati. Di sini ada seorang pahlawan yang menyalakan semangatnya dan mengilhamkan ide-ide tertinggi tentang harga diri moral dan membangkitkan semua ideal-idealnya tentang keberanian, kejantanan, dan kewiraan. Pada waktu menyaksikan Yesus, bangkitlah di dalam hatinya suatu rasa kasih, kesetiaan, dan kebesaran sejati yang luar biasa.
1955 187:4.6 And if any other person among the jeering crowd had experienced the birth of faith within his soul and had appealed to the mercy of Jesus, he would have been received with the same loving consideration that was displayed toward the believing brigand.
2020 187:4.6 Dan jika ada orang lain di antara orang banyak yang mencemooh itu mengalami kelahiran iman di dalam jiwanya dan telah memohon rahmat dari Yesus, ia tentulah akan diterima dengan pertimbangan penuh kasih yang sama dengan yang ditunjukkan kepada perampok yang percaya itu.
1955 187:4.7 Just after the repentant thief heard the Master’s promise that they should sometime meet in Paradise, John returned from the city, bringing with him his mother and a company of almost a dozen women believers. John took up his position near Mary the mother of Jesus, supporting her. Her son Jude stood on the other side. As Jesus looked down upon this scene, it was noontide, and he said to his mother, “Woman, behold your son!” And speaking to John, he said, “My son, behold your mother!” And then he addressed them both, saying, “I desire that you depart from this place.” And so John and Jude led Mary away from Golgotha. John took the mother of Jesus to the place where he tarried in Jerusalem and then hastened back to the scene of the crucifixion. After the Passover Mary returned to Bethsaida, where she lived at John’s home for the rest of her natural life. Mary did not live quite one year after the death of Jesus.
2020 187:4.7 Tepat setelah perampok yang bertobat itu mendengar janji Guru bahwa mereka suatu waktu nanti akan bertemu di Firdaus, Yohanes kembali dari kota, dengan membawa ibunya dan serombongan hampir selusin perempuan percaya. Yohanes mengambil tempatnya dekat Maria, ibu Yesus, mendukung dia. Anaknya Yudas berdiri di sisi lain. Ketika Yesus melihat ke bawah pada adegan ini, saat itu tengah hari, dan dia berkata kepada ibunya, “Ibu, lihatlah itu anakmu!” Dan berbicara dengan Yohanes, dia berkata, “Anakku, lihatlah itu ibumu!” Dan kemudian dia berbicara kepada mereka berdua, mengatakan, “aku ingin agar kalian pergi dari tempat ini.” Maka Yohanes dan Yudas membawa Maria menjauh dari Golgota. Yohanes membawa ibu Yesus ke tempat dimana ia tinggal di Yerusalem dan kemudian bergegas kembali ke tempat penyaliban[28]. Setelah Paskah Maria kembali ke Betsaida, dimana ia tinggal di rumah Yohanes sepanjang sisa hidupnya di dunia. Maria hidup tidak sampai satu tahun setelah kematian Yesus.
1955 187:4.8 After Mary left, the other women withdrew for a short distance and remained in attendance upon Jesus until he expired on the cross, and they were yet standing by when the body of the Master was taken down for burial.
2020 187:4.8 Setelah Maria pergi, para wanita lain mundur tidak jauh dan tetap mendampingi Yesus sampai dia wafat di atas salib, dan mereka masih berdiri di dekat itu ketika tubuh Guru diturunkan untuk dimakamkan.
5. LAST HOUR ON THE CROSS
5. JAM TERAKHIR DI ATAS SALIB
1955 187:5.1 Although it was early in the season for such a phenomenon, shortly after twelve o’clock the sky darkened by reason of the fine sand in the air. The people of Jerusalem knew that this meant the coming of one of those hot-wind sandstorms from the Arabian Desert. Before one o’clock the sky was so dark the sun was hid, and the remainder of the crowd hastened back to the city. When the Master gave up his life shortly after this hour, less than thirty people were present, only the thirteen Roman soldiers and a group of about fifteen believers. These believers were all women except two, Jude, Jesus’ brother, and John Zebedee, who returned to the scene just before the Master expired.
2020 187:5.1 Meskipun terlalu awal pada musim untuk fenomena seperti itu, tak lama setelah jam dua belas langit digelapkan oleh karena pasir halus di udara[29]. Orang-orang Yerusalem tahu bahwa ini berarti akan datang suatu badai pasir angin panas dari gurun Arab. Sebelum jam satu langit begitu gelap sehingga matahari tertutup, dan sisa kerumunan bergegas kembali ke kota. Ketika Guru menyerahkan hidupnya tak lama setelah jam ini, kurang dari tiga puluh orang yang hadir, hanya tiga belas tentara Romawi dan sekelompok sekitar lima belas orang percaya. Orang-orang percaya ini semua wanita kecuali dua, Yudas adik Yesus, dan Yohanes Zebedeus, yang kembali ke tempat kejadian tepat sebelum Guru wafat.
1955 187:5.2 Shortly after one o’clock, amidst the increasing darkness of the fierce sandstorm, Jesus began to fail in human consciousness. His last words of mercy, forgiveness, and admonition had been spoken. His last wish—concerning the care of his mother—had been expressed. During this hour of approaching death the human mind of Jesus resorted to the repetition of many passages in the Hebrew scriptures, particularly the Psalms. The last conscious thought of the human Jesus was concerned with the repetition in his mind of a portion of the Book of Psalms now known as the twentieth, twenty-first, and twenty-second Psalms. While his lips would often move, he was too weak to utter the words as these passages, which he so well knew by heart, would pass through his mind. Only a few times did those standing by catch some utterance, such as, “I know the Lord will save his anointed,” “Your hand shall find out all my enemies,” and “My God, my God, why have you forsaken me?” Jesus did not for one moment entertain the slightest doubt that he had lived in accordance with the Father’s will; and he never doubted that he was now laying down his life in the flesh in accordance with his Father’s will. He did not feel that the Father had forsaken him; he was merely reciting in his vanishing consciousness many Scriptures, among them this twenty-second Psalm, which begins with “My God, my God, why have you forsaken me?” And this happened to be one of the three passages which were spoken with sufficient clearness to be heard by those standing by.
2020 187:5.2 Tak lama setelah jam satu, di tengah meningkatnya kegelapan akibat badai pasir yang ganas, Yesus mulai kehilangan kesadaran manusiawinya. Kata-kata terakhirnya untuk rahmat, pengampunan, dan peringatan telah diucapkan. Keinginan terakhirnya—mengenai perawatan ibunya—telah disampaikan. Selama jam mendekati kematian ini batin manusiawi Yesus beralih ke pengulangan banyak bagian dalam kitab suci Ibrani, khususnya Mazmur[30]. Pikiran sadar terakhir dari manusia Yesus itu diisi dengan pengulangan dalam pikirannya suatu bagian dari Kitab Mazmur yang sekarang dikenal sebagai Mazmur kedua puluh, dua puluh satu, dan dua puluh dua. Meskipun bibirnya sering bergerak, ia terlalu lemah untuk mengucapkan kata-kata sementara ayat-ayat ini, yang dia begitu kenal baik di hati, mengalir melewati pikirannya. Hanya beberapa kali mereka yang berdiri menangkap beberapa ucapan, seperti, “Sekarang aku tahu, bahwa TUHAN memberi kemenangan kepada orang yang diurapi-Nya,” “Tangan-Mu akan menjangkau semua musuhku,” dan “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan aku?” Yesus tidak sama sekali selama sesaat menyimpan keraguan sedikitpun mengenai bahwa dia telah hidup sesuai dengan kehendak Bapa; dan dia tidak pernah meragukan bahwa dia sekarang meletakkan hidupnya dalam daging sesuai dengan kehendak Bapa-Nya[31][32][33]. Dia tidak merasa bahwa Bapa telah meninggalkannya; dia hanya mengucapkan dalam kesadarannya yang menghilang itu banyak ayat Kitab Suci, di antaranya Mazmur dua puluh dua ini, yang dimulai dengan “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan aku?” Dan ini kebetulan menjadi salah satu dari tiga bagian ayat yang diucapkan dengan kejelasan yang cukup untuk didengar oleh orang-orang yang berdiri di dekatnya.
1955 187:5.3 The last request which the mortal Jesus made of his fellows was about half past one o’clock when, a second time, he said, “I thirst,” and the same captain of the guard again moistened his lips with the same sponge wet in the sour wine, in those days commonly called vinegar.
2020 187:5.3 Permintaan terakhir yang manusia Yesus buat kepada sesamanya adalah sekitar jam setengah dua ketika, untuk kedua kalinya, dia berkata, “Aku haus,” dan kapten penjaga yang sama itu membasahi bibirnya lagi dengan spons yang sama, yang dibasahi anggur asam, yang pada hari-hari itu umumnya disebut cuka[34].
1955 187:5.4 The sandstorm grew in intensity and the heavens increasingly darkened. Still the soldiers and the small group of believers stood by. The soldiers crouched near the cross, huddled together to protect themselves from the cutting sand. The mother of John and others watched from a distance where they were somewhat sheltered by an overhanging rock. When the Master finally breathed his last, there were present at the foot of his cross John Zebedee, his brother Jude, his sister Ruth, Mary Magdalene, and Rebecca, onetime of Sepphoris.
2020 187:5.4 Badai pasir menjadi semakin kuat dan langit semakin gelap. Para tentara dan kelompok kecil orang percaya masih berdiri. Para prajurit berjongkok dekat salib, meringkuk bersama-sama untuk melindungi diri mereka dari pasir yang tajam. Ibunya Yohanes dan yang lain menyaksikan dari jarak jauh dimana mereka agak terlindung oleh sebuah batu yang menggantung. Ketika Guru pada akhirnya menghembuskan napas terakhirnya, ada hadir di kaki salibnya Yohanes Zebedeus, adik lelakinya Yudas, adik perempuannya Rut, Maria Magdalena, dan Ribka, yang dulu dari Sepphoris[35].
1955 187:5.5 It was just before three o’clock when Jesus, with a loud voice, cried out, “It is finished! Father, into your hands I commend my spirit.” And when he had thus spoken, he bowed his head and gave up the life struggle. When the Roman centurion saw how Jesus died, he smote his breast and said: “This was indeed a righteous man; truly he must have been a Son of God.” And from that hour he began to believe in Jesus.
2020 187:5.5 Tepat sebelum jam tiga ketika Yesus, dengan suara nyaring, berseru, “Sudah selesai! Bapa, ke dalam tangan-Mu aku serahkan rohku.” Dan setelah dia berbicara demikian, dia menundukkan kepalanya dan menghentikan perjuangan hidup. Ketika perwira Romawi itu melihat bagaimana Yesus meninggal, ia memukul dadanya dan berkata: “Ini memang orang benar; sungguh dia pastilah Anak Tuhan[36].” Dan sejak jam itu ia mulai percaya Yesus.
1955 187:5.6 Jesus died royally—as he had lived. He freely admitted his kingship and remained master of the situation throughout the tragic day. He went willingly to his ignominious death, after he had provided for the safety of his chosen apostles. He wisely restrained Peter’s trouble-making violence and provided that John might be near him right up to the end of his mortal existence. He revealed his true nature to the murderous Sanhedrin and reminded Pilate of the source of his sovereign authority as a Son of God. He started out to Golgotha bearing his own crossbeam and finished up his loving bestowal by handing over his spirit of mortal acquirement to the Paradise Father. After such a life—and at such a death—the Master could truly say, “It is finished.”
2020 187:5.6 Yesus wafat seperti raja—seperti dia telah hidup. Dia dengan bebas mengaku dirinya sebagai raja dan tetap menguasai keadaan di sepanjang hari yang tragis itu. Dia pergi dengan rela untuk kematiannya yang hina itu, setelah dia mempersiapkan keamanan rasul-rasul pilihannya. Dia dengan bijaksana mencegah kekerasan dari Petrus yang membuat masalah dan mengatur agar Yohanes bisa berada di dekatnya sampai ke akhir kehidupan fananya. Dia mengungkapkan sifat sejatinya kepada Sanhedrin yang garang itu dan mengingatkan Pilatus tentang sumber wewenang kedaulatannya sebagai Anak Tuhan. Dia berangkat ke Golgota memikul palang salibnya sendiri dan menyelesaikan penganugerahan kasihnya dengan menyerahkan roh dari perolehan manusia kepada Bapa Firdaus. Setelah hidup yang seperti itu—dan pada kematian yang seperti itu—Guru benar-benar dapat berkata, “Sudah selesai[37].”
1955 187:5.7 Because this was the preparation day for both the Passover and the Sabbath, the Jews did not want these bodies to be exposed on Golgotha. Therefore they went before Pilate asking that the legs of these three men be broken, that they be dispatched, so that they could be taken down from their crosses and cast into the criminal burial pits before sundown. When Pilate heard this request, he forthwith sent three soldiers to break the legs and dispatch Jesus and the two brigands.
2020 187:5.7 Karena ini adalah hari persiapan untuk Paskah maupun hari Sabat, orang-orang Yahudi tidak mau tubuh-tubuh ini ditonton terbuka di Golgota[38]. Oleh karena itu mereka pergi menghadap Pilatus meminta agar kaki-kaki ketiga orang itu dipatahkan, agar mereka dibunuh, sehingga mereka bisa diturunkan dari salib mereka dan dilemparkan ke dalam lubang pemakaman penjahat sebelum matahari terbenam. Ketika Pilatus mendengar permintaan ini, ia segera mengirim tiga tentara untuk mematahkan kaki dan membunuh Yesus serta dua bandit itu[39].
1955 187:5.8 When these soldiers arrived at Golgotha, they did accordingly to the two thieves, but they found Jesus already dead, much to their surprise. However, in order to make sure of his death, one of the soldiers pierced his left side with his spear. Though it was common for the victims of crucifixion to linger alive upon the cross for even two or three days, the overwhelming emotional agony and the acute spiritual anguish of Jesus brought an end to his mortal life in the flesh in a little less than five and one-half hours.
2020 187:5.8 Ketika tentara-tentara ini tiba di Golgota, mereka lakukan sesuai perintah terhadap dua perampok itu, tetapi mereka menemukan Yesus sudah mati, yang amat mengherankan mereka[40]. Namun demikian, dalam rangka memastikan kematiannya, salah seorang prajurit itu menikam lambung kirinya dengan tombaknya. Meskipun biasa bagi para korban penyaliban untuk masih berlama-lama hidup di atas kayu salib bahkan sampai dua atau tiga hari, penderitaan emosional yang luar biasa dan penderitaan rohani akut Yesus mengakhiri kehidupan fananya dalam daging dalam waktu sedikit kurang dari lima setengah jam.
6. AFTER THE CRUCIFIXION
6. SETELAH PENYALIBAN
1955 187:6.1 In the midst of the darkness of the sandstorm, about half past three o’clock, David Zebedee sent out the last of the messengers carrying the news of the Master’s death. The last of his runners he dispatched to the home of Martha and Mary in Bethany, where he supposed the mother of Jesus stopped with the rest of her family.
2020 187:6.1 Di tengah kegelapan badai pasir, sekitar jam setengah empat, Daud Zebedeus mengirim keluar utusan-utusan yang terakhir yang membawa kabar tentang kematian Guru[41]. Yang terakhir dari pelarinya ia berangkatkan ke rumah Marta dan Maria di Betania, dimana ia mengira ibu Yesus singgah sementara di situ bersama anggota keluarganya yang lain.
1955 187:6.2 After the death of the Master, John sent the women, in charge of Jude, to the home of Elijah Mark, where they tarried over the Sabbath day. John himself, being well known by this time to the Roman centurion, remained at Golgotha until Joseph and Nicodemus arrived on the scene with an order from Pilate authorizing them to take possession of the body of Jesus.
2020 187:6.2 Setelah kematian Guru, Yohanes mengirim para perempuan, dipimpin Yudas, ke rumah Elia Markus, dimana mereka menunggu selama hari Sabat. Yohanes sendiri, karena dikenal baik sebelum saat ini oleh perwira Romawi itu, tetap di Golgota sampai Yusuf dan Nikodemus tiba di tempat kejadian dengan perintah dari Pilatus memberi wewenang mereka untuk mengambil jenazah Yesus.
1955 187:6.3 Thus ended a day of tragedy and sorrow for a vast universe whose myriads of intelligences had shuddered at the shocking spectacle of the crucifixion of the human incarnation of their beloved Sovereign; they were stunned by this exhibition of mortal callousness and human perversity.
2020 187:6.3 Maka berakhirlah hari tragedi dan duka untuk sebuah alam semesta luas yang mana tak terhitung makhluk-makhluk cerdas telah menggigil melihat tontonan mengejutkan dari penyaliban manusia penjelmaan Penguasa terkasih mereka; mereka tercengang oleh pameran ketanpa-perasaan dan kebusukan manusia ini.